"Eksploitasi hutan berlebihan untuk kepentingan perkebunan, pertambangan, dan kepentingan lain mengakibatkan rusaknya habitat, tempat tinggal dan berkembang biak harimau dan hewan lainnya, sehingga binatang buas itu keluar habitat dan menyerang manusia," katanya di Palembang, Jumat.
Dalam tiga bulan terakhir, Walhi mencatat lebih dari 20 kasus harimau menyerang manusia di wilayah Sumatera Selatan, yakni di Pagaralam, Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, dan Ogan Komering Ulu.
Fakta tersebut, menurut Hairul, menuntut pemerintah daerah dan instansi terkait segera bertindak untuk mencegah eksploitasi hutan yang menyebabkan kerusakan habitat satwa liar.
"Jangan sampai dibiarkan penebangan liar, pengembangan perkebunan, dan kegiatan pemanfaatan hutan secara berlebihan yang dapat merusak habitat, karena binatang buas bisa keluar dari habitatnya dan mengganggu kehidupan manusia seperti yang mulai terjadi di sejumlah kabupaten/kota Sumsel dalam beberapa bulan terakhir," katanya.
Selain itu, ia melanjutkan, eksploitasi hutan secara berlebihan juga bisa menimbulkan bencana ekologis yang mengakibatkan kerugian besar. Penyebab banjir dan tanah longsor yang terjadi selama Januari hingga Juni 2019 dan kebakaran hutan dan lahan yang berlangsung Juli sampai Oktober 2019 tidak lepas dari kerusakan hutan dan lingkungan.
Hairul mengatakan, konflik satwa liar dengan manusia dan bencana ekologis berkepanjangan merupakan dampak akumulasi kerusakan akibat kesalahan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di wilayah Sumatera Selatan.
Baca juga:
BKSDA Sumsel catat 23 konflik manusia dengan harimau sepanjang 2019
Petani kopi tewas diterkam harimau di kawasan hutan lindung Lahat
Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020