• Beranda
  • Berita
  • Migran Care: Cermati potensi pekerjaan hilang di era digitalisasi

Migran Care: Cermati potensi pekerjaan hilang di era digitalisasi

27 Januari 2020 17:57 WIB
Migran Care: Cermati potensi pekerjaan hilang di era digitalisasi
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo (kedua kiri) dalam diskusi di Jakarta Pusat, Senin (27/1/2020). (FOTO ANTARA/Prisca Triferna)

Era digitalisasi dan disrupsi automasi memiliki implikasi tidak terhindarkan dalam ekosistem ketenagakerjaan, termasuk pekerjaan untuk pekerja Indonesia di luar negeri

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care meminta pemerintah untuk menaruh perhatian akan masa depan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan adanya potensi beberapa pekerjaan yang hilang di era digitalisasi akibat kemajuan teknologi.

"Penting, tapi hingga saat ini yang belum menjadi perhatian serius dari pemerintah Indonesia adalah persoalan masa depan pekerjaan, harusnya pemerintah sudah mulai mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan mana yang akan hilang dan pekerjaan baru. Dalam konteks pekerja migran kita perlu menyeriusi perkara ini," kata Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam diskusi di Jakarta Pusat, Senin.

Hal itu, katanya, perlu dilakukan karena era digitalisasi dan disrupsi automasi memiliki implikasi tidak terhindarkan dalam ekosistem ketenagakerjaan, termasuk pekerjaan untuk pekerja Indonesia di luar negeri.

Saat ini pekerja migran Indonesia masih didominasi bekerja di sektor domestik bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Tapi, angka pekerja migran di bidang tersebut turun secara signifikan selama tiga taun terakhir.

Migrant Care memproyeksikan kenaikan pekerja migran dari 264.092 orang pada 2018 menjadi 266.600 pada 2019. Dari angka itu 32,83 persen bekerja di sektor domestik pada 2018 dan turun menjadi 28,83 persen pada 2019, menurut data Migrant Care yang mengolah statistik milik Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Kondisi itu bisa dipengaruhi dua hal yaitu penghentian penempatan TKI pada pengguna perseorangan di negara-negara kawasan Timur Tengah pada 2015.

Sementara fase 2017 sempat terjadi kenaikan singkat setelah meluasnya peluang kerja di negara-negara Asia Pasifik seperti Taiwan dan Hong Kong.

Ia mengatakan bahwa disrupsi memiliki dua efek yaitu yang menguntungkan dan memunculkan tantangan. Peluang yaitu ketika negara berkembang seperti Indonesia untuk bersaing di pasar global, tapi ada tantangan ketika belum ada peta jalan konkret untuk meningkatkan kompetensi angkatan kerja migran Indonesia.

"Meskipun sebenarnya menurut studi Organisasi Buruh Internasional (ILO)Indonesia ada dalam zona nyaman untuk kategori pekerja migran sejauh ini, pekerjaan yang terkait care, pengasuhan, pekerjaan rumah tangga, sektor kesehatan dan yang lain-lain itu masih lebih aman sebenarnya ketimbang pekerjaan pabrikan yang nantinya bisa digantikan oleh robot atau automasi," demikian Wahyu Susilo.

Baca juga: Labor Institute: 100 ribu warga kehilangan pekerjaan akibat digitalisasi

Baca juga: Riset IMF ungkap perempuan berisiko kehilangan pekerjaan karena teknologi

Baca juga: Sisi gelap dan terang era digital

Baca juga: Menaker Usulkan BPJS menambah Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Baca juga: ILO: Kehilangan Pekerjaan Memuncak Jika Stimulus Berakhir

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020