• Beranda
  • Berita
  • Akademisi: ke depan sektor peternakan harus lebih berkelanjutan

Akademisi: ke depan sektor peternakan harus lebih berkelanjutan

27 Januari 2020 19:33 WIB
Akademisi: ke depan sektor peternakan harus lebih berkelanjutan
Para pembicara dalam seminar  bertema “Dampak peternakan sapi bagi Lingkungan” yang digelar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI)  bekerjasama dengan Northern Territory Cattlemen's Association (NTCA) dan Red Meat and Cattle Partnership Australia di Jakarta, Senin (27/1/2020) (Antarafoto/Subagyo)

ada penilaian di Indonesia saat ini sektor peternakan, khususnya ternak ruminansia turut menyumbang terhadap pembentukan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti halnya sektor transportasi.

Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan ke depan usaha sektor peternakan dituntut untuk lebih berkelanjutan (sustainability) sebagai salah satu upaya mendukung penyelamatan lingkungan.

Pengajar pada Fakultas Peternakan UGM Dr. Panjono IPM dalam seminar bertema “Dampak peternakan sapi bagi Lingkungan” di Jakarta, Senin, menyatakan, ada penilaian di Indonesia saat ini sektor peternakan, khususnya ternak ruminansia turut menyumbang terhadap pembentukan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti halnya sektor transportasi.

"Namun sumbangan sektor peternakan di Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca belum terlalu besar jika dibandingkan dengan sektor transportasi. Meskipun demikian ke depan sektor peternakan harus berkelanjutan," katanya dalam seminar yang digelar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) bekerja sama dengan Northern Territory Cattlemen's Association (NTCA) dan Red Meat and Cattle Partnership Australia itu.

Dalam sebuah laporan berjudul Animal Agriculture’s Impact on Climate Change disebutkan, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.

Emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi ikut menyumbang 65 persen. Dalam hal sapi, gas metana ikut meningkatkan efek rumah kaca. Ternak berkaki empat atau ruminansia (sapi, kambing, domba) menghasilkan gas metana yang keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak.

Baca juga: Kenaikan konsentrasi gas rumah kaca sebabkan cuaca ekstrem

Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 2016 disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18 persen emisi gas rumah kaca dunia.

Kepala Humas Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Pebi Purwosuseno mengatakan sektor peternakan muncul sebagai salah satu penyumbang bagi masalah lingkungan. Temuan ini mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.

Memperhatikan permasalahan tersebut, menurut dia, perlu mempertimbangkan pula pentingnya peternakan bagi penghidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global, serta mengingat perannya dalam aspek sosial, ekonomi dan ketahanan pangan, maka kita harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi tersebut.

Terlebih, skala masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif permasalahan di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju.

“Terwujudnya produk peternakan Indonesia yang berdaya saing dan berkelanjutan, dan ini telah secara eksplisit diterapkan ke dalam startegi utama yang selalu mengedepankan konsep keberlanjutan dalam langkah-langkah operasionalnya," katanya.

CEO NTCA Ashley Manicaroos menyatakan, usaha peternakan sapi di Australia sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang muncul dari sektor peternakan baik dengan teknologi maupun dari pemberian pakannya.
Baca juga: Bappenas dorong pembangunan rendah karbon

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020