• Beranda
  • Berita
  • Menanti dua bendungan kering pertama pengendali banjir Jabodetabek

Menanti dua bendungan kering pertama pengendali banjir Jabodetabek

2 Februari 2020 13:45 WIB
Menanti dua bendungan kering pertama pengendali banjir Jabodetabek
Foto maket desain Bendungan Ciawi, Kabupaten Bogor. Dokumentasi Kementerian PUPR

Dalam rencana induk tersebut sudah dirancang terdapat dua bendungan di hulu Sungai Ciliwung yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi

Kota Jakarta pada tahun 2050 diperkirakan tenggelam dan menghilang dari peta Bumi akibat banjir, menurut laporan berjudul New Elevation Data Triple Estimates of Global Vulnerability to Sea-level Rise and Coastal Flooding yang terbit di jurnal Nature Communications.

Dalam laporan itu, para ahli mengukur topografi garis pantai di seluruh dunia dan menemukan kenaikan air laut secara drastis dalam dekade terakhir. Prediksi kenaikan air laut tersebut hingga mencapai dua meter di seluruh dunia pada 2050.

Mereka mengkalkulasi setidaknya 300 juta warga Asia akan selalu merasakan banjir tahunan di masa depan. Dalam laporan tersebut mereka mengukur China, Bangladesh, India, Indonesia (Jakarta), Thailand, Filipina dan Jepang dan memperkirakan warga di sana akan merasakan dampak besar dari peningkatan muka air laut tersebut.

Baca juga: Nasib Tanggul Laut Raksasa Jakarta penahan banjir

 
Dokumentasi - Banjir merendam kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri di Jakarta, Kamis (2/1/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.


Tidak perlu menunggu tahun 2050, banjir awal tahun 2020 yang terjadi beberapa pekan lalu telah menjadi sinyal bahwa Jakarta akan tenggelam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 114 kecamatan di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten terdampak banjir dan longsor.

Ketinggian banjir maksimal mencapai enam meter terjadi di Kota Bekasi membuat 149.537 orang mengungsi. Jumlah korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten mencapai 67 orang berdasarkan data BNPB per 6 Januari 2020.

Pemerintah pusat melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau PUPR Basuki Hadimuljono mengambil langkah cepat dengan mengebut pembangunan dua bendungan yakni Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor yang harus rampung pada tahun 2020. Hal ini penting dilakukan guna mencegah banjir di sektor hulu.

Selain itu untuk penanganan banjir di wilayah tengah atau midstream, Kementerian PUPR akan melanjutkan normalisasi atau naturalisasi sungai-sungai serta meneruskan pembangunan infrastruktur pencegah banjir.

Betulkah Jakarta akan tenggelam akibat banjir? Peranan apa yang akan dimainkan Bendungan Ciawi dan Sukamahi dalam pencegahan banjir? Dan langkah-langkah apa yang diupayakan oleh Kementerian PUPR dalam meminimalisasi banjir Jakarta di wilayah midstream?

Baca juga: Kanal-kanal pengendali banjir Jakarta


Terkepung 180 titik banjir
 
Plt Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Widiarto. ANTARA/Aji Cakti


Hasil survei yang dilakukan Kementerian PUPR, melalui aksi mengerahkan 294 generasi muda ketika banjir awal 2020 melanda, menunjukkan Jakarta dan wilayah sekitarnya dikepung 180 titik banjir.

"Bapak Menteri PUPR memerintahkan kami untuk menerjunkan sekitar 294 pasukan generasi muda PUPR untuk melakukan survei dan meneliti penyebab banjir Jakarta 2020. Dari survei itu dan berdasarkan data dari BNPB terdapat sekitar 180 titik banjir yang tersebar di wilayah Jabodetabek," ujar Plt Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Widiarto.

Widiarto menjelaskan bahwa dari penelusuran tersebut, banjir awal 2020 sebagian besar diakibatkan oleh limpasan, kemudian penyebab kedua adalah jebolnya tanggul yang kemungkinan akibat limpasan sehingga tanggul-tanggul yang terbuat dari tanah tidak kuat menahan derasnya aliran air. Selain itu penyebab-penyebab banjir awal 2020 lainnya merupakan masalah klasik yakni sampah dan tingginya sedimentasi.

Kawasan yang terdampak paling parah adalah bagian timur yakni wilayah Jakarta Timur dan Bekasi. Selain itu curah hujan yang tercatat di kawasan Halim Perdanakusumah yakni 377 mm/detik dan Cakung sekitar 300 mm/detik.

"Menurut catatan BMKG, curah hujan ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 1886. Banjir-banjir besar yang pernah terjadi sebelumnya rata-rata tercatat dengan curah hujan hanya di kisaran 200-250 mm/detik," kata Widiarto.

Baca juga: Dalam bayang-bayang tenggelam


Bendungan kering pertama di Jabodetabek

Salah satu upaya pemerintah pusat untuk menangani persoalan banjir Jakarta yang menahun adalah dengan membangun dua bendungan pada wilayah hulu Sungai Ciliwung di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yakni Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi.

"Khusus untuk penanganan banjir di Sungai Ciliwung, kita sudah memiliki Rencana Induk Pengendalian Banjir mulai dari tahun 1973 yang kemudian mengalami penyesuaian sebanyak dua kali sesuai dengan kondisi perkembangan di lapangan. Dalam rencana induk tersebut sudah dirancang terdapat dua bendungan di hulu Sungai Ciliwung yakni Bendungan Ciawi dan Sukamahi," ujar Plt Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Widiarto.
 
Skematik Rencana Induk Kontrol Banjir Jakarta. Dokumentasi BBWS Ciliwung dan Cisadane Kementerian PUPR


Menurut sumber Rencana Induk Kontrol Banjir Jakarta tahun 2007, dua bendungan wajib dibangun di bagian hulu Sungai Ciliwung dalam rangka mendukung peran Kanal Banjir Barat. Selain itu pemerintah juga perlu memperbaiki kapasitas sungai, melakukan pelebaran pintu air Manggarai dan Karet menjadi tiga pintu.

Dari sejumlah rencana dalam rencana induk tersebut, Kementerian PUPR baru merampungkan pelebaran pintu air Manggarai dan Karet, kemudian pembangunan Banjir Kanal Timur.

Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang sedang dibangun merupakan jenis bendungan kering atau dry dam, di mana dalam rencana  induk tersebut kedua bendungan ini merupakan bendungan pertama di wilayah Jabodetabek.

"Konsep bendungan kering ini berbeda dengan bendungan lainnya. Kedua bendungan tersebut didedikasikan untuk mengendalikan banjir sedangkan kalau bendungan lain bisa untuk melayani penyaluran air baku dan sebagainya serta berfungsi pula saat musim kemarau," kata Widiarto.

Kementerian PUPR berharap ketika musim penghujan datang, semua air akan tertampung ke dalam bendungan kering tersebut agar tidak cepat mengalir ke hilir dan ketika kapasitasnya penuh maka air yang tertampung akan dialirkan secara pelan-pelan ke hilir, namun ketika musim kemarau atau musim biasa, kedua bendungan ini dalam kondisi kosong atau kering.

Baca juga: Prediksi tenggelam 2050, Jakarta masih andalkan sumber air dari tanah

 
Lubang pembuangan air Bendungan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ANTARA/Aji Cakti


Bendungan Ciawi berdiri di lahan seluas 78,35 hektare, bendungan ini rencananya memiliki kapasitas volume tampungan efektif 5,03 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 6,05 juta meter kubik.

Bendungan ini memiliki dua lubang pembuangan dengan diameter masing-masing 4,2 meter, tinggi bendungan akan mencapai 55 meter serta panjang bottom outlet 406,50 meter.

Sedangkan Bendungan Sukamahi berdiri di lahan seluas 46,93 hektare, di mana bendungan ini akan memiliki kapasitas volume tampungan efektif 1,38 juta meter kubik dan kapasitas daya tampung maksimal 1,68 juta meter kubik.

Sama halnya dengan Bendungan Ciawi, Bendungan Sukamahi memiliki dua lubang pembuangan dengan diameter masing-masing tiga meter. Bendungan Sukamahi juga memiliki ketinggian 50 meter serta panjang bottom outlet 225 meter.

Sedangkan pengoperasian dua lubang pembuangan Bendungan Sukamahi dan Ciawi dilakukan secara manual,serta hanya akan dilakukan saat musim kemarau ketika kedua bendungan dalam kondisi kering alias tidak ada air.

Ketika rampung, Bendungan Ciawi dan Sukamahi akan terhubung serta terpantau di ruang operasi atau pemantauan bendungan Ditjen SDA Kementerian PUPR. Bahkan saat proses pembangunan pun dapat langsung dimonitor dari ruangan itu. Ruang operasi ini masih terus dikembangkan dan nantinya diharapkan dapat menjadi pusat operasi serta pemantauan.
 
Sistem pemantauan bendungan dan waduk di ruang operasi dan monitoring bendungan Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Jakarta. ANTARA/Aji Cakti


Ruangan pemantauan tersebut juga bertindak sebagai tempat untuk mengambil kebijakan terkait pemeliharaan bendungan, karena ruang operasi tersebut bukan hanya dapat memantau ketinggian elevasi permukaan air dan perilaku keamanan bendungan, seperti kebocoran.

Berdasarkan rekapitulasi debit banjir periode ulang 50 tahunan, Bendungan Ciawi dapat mengurangi debit air banjir di wilayah hulu sekitar 30,6 persen sedangkan Bendungan Sukamahi diharapkan dapat mengurangi banjir di hulu sekitar 27,4 persen.

Dengan demikian kedua bendungan ini nantinya dapat berperan mereduksi air banjir yang masuk ke Pintu Air Manggarai sekitar 577 meter kubik per detik atau 11,9 persen.
 
Rekapitulasi Debit Banjir Periode Ulang 50 Tahunan. Dokumentasi BBWS Ciliwung dan Cisadane Kementerian PUPR


Pembangunan kedua bendungan ini diharapkan dapat rampung pada tahun 2021, sehingga Bendungan Ciawi dan Sukamahi dapat menampung aliran air banjir sekitar 100-120 meter kubik dari hulu hingga hilir.

"Kalau bendungan didesain dan dibangun sedemikian rupa sejak awal untuk umur ekonomis tertentu, dan untuk memperpanjang umur ekonomisnya, Kementerian PUPR melakukan pemeliharaan sebaik-baiknya. Jadi dengan rencana induk untuk kondisi saat ini dalam beberapa tahun mendatang cukup dengan dua bendungan ini," kata Plt Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Widiarto.

Baca juga: Tuntas, Sudin SDA bangun 420 drainase vertikal selama 2019

 

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020