Provinsi Sumatera Selatan menghadapi dampak ekonomi akibat penyebaran virus corona yang bermula dari Wuhan, China, dan merebak ke banyak negara, karena daerah itu masih tergantung pada ekspor komoditas seperti karet dan kelapa sawit yang mengalami penurunan harga.Penurunan harga karet ini terjadi pada semua kadar kering karet baik, mulai dari yang kadar 40 persen hingga untuk karet kadar 100 persen
Harga karet Sumatera Selatan merosot hingga 5 persen sepanjang pekan ketiga Januari 2020 baik untuk kadar 60 persen maupun 100 persen, sementara harga sawit turun sebesar 10 persen dari Rp9.400 menjadi Rp8.400 pada pekan ini.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP) Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian di Palembang, Sabtu, mengatakan harga karet dengan kadar 100 persen mencapai Rp16.290 per kilogram pada 24 Januari 2020. Harga itu telah turun sebanyak Rp861 dibandingkan periode 20 Januari 2020.
“Penurunan harga karet ini terjadi pada semua kadar kering karet baik, mulai dari yang kadar 40 persen hingga untuk karet kadar 100 persen,” kata dia.
Ia mengatakan wabah virus corona di China telah membuat kegiatan ekonomi di negara tersebut terhenti.
Kondisi ini tentu mempengaruhi perekonomian Sumsel karena negara tujuan ekspor utama untuk karet alam yakni China.
Sebelumnya dia mengemukakan, permintaan dari industri ban diprediksi meningkat 1,5 persen sepanjang 2020 akibat pulihnya perdagangan Amerika Serikat (AS) dan China.
Namun kondisi pasar global menjadi tak menentu akibat mewabahnya virus corona.
Sama halnya dengan komoditas sawit yakni terjadi penurunan harga tender Kantor Bersama Komoditas sebesar 10 persen dari Rp9.400 menjadi Rp8.400 pada pekan ini.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Provinsi Sumatera Selatan menilai penurunan harga kelapa sawit sejak dua pekan lalu hanya bersifat sementara karena dipengaruhi sentimen negatif atas merebaknya virus corona.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto mengatakan, para pengusaha berkeyakinan bahwa setelah virus ini tertanggulangi maka harga akan reborn kembali.
“Ini bersifat sementara, karena diakui saat ini perekonomian China sedang lumpuh akibat banyak kota diisolasi. Sementara di sisi lain, China menjadi tujuan ekspor terbesar negara-negara penghasil sawit,” kata dia.
Ia mengatakan banyak hal yang memperkuat bahwa sejatinya harga sawit reborn pada 2020, salah satunya adanya pemanfaatan sawit menjadi bahan bakar solar (bio solar) B20 dan B30 di dalam negeri Indonesia.
Upaya ini membuat terjadi penyerapan sebesar 9 juta ton dari total produksi dalam negeri sebesar 51 juta ton pada 2019.
Namun, adanya kejadian tak diduga yakni merebaknya virus corona sejak awal 2020 membuat terjadi pergolakan harga.
Menurut dia, para pengusaha harus mensiasati keadaan ini dengan efisiensi dalam menjalankan bisnis mengingat keadaan ini belum mereda.
Harus diakui, ia melanjutkan, China saat ini memiliki pengaruh luar biasa pada perekonomian dunia karena berkontribusi hingga 17 persen, berbeda saat virus SARS menjangkit dunia yakni hanya 4 persen.
Baca juga: Jokowi minta kalkulasi dampak virus corona terkait ekonomi Indonesia
Baca juga: Erick Thohir minta BUMN antisipasi dampak ekonomi dari virus corona
Baca juga: Dampak corona, Apindo nilai perlu koreksi target pertumbuhan ekonomi
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020