• Beranda
  • Berita
  • Penerimaan pajak berpotensi hilang Rp80 triliun akibat penurunan PPh

Penerimaan pajak berpotensi hilang Rp80 triliun akibat penurunan PPh

11 Februari 2020 19:03 WIB
Penerimaan pajak berpotensi hilang Rp80 triliun akibat penurunan PPh
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (11/2/2020). (ANTARA/AstridFaidlatulHabibah)

Esensinya tarif turun tapi bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan adanya kebijakan penurunan tarif pajak penghasilan atau PPh dalam Omnimbus Law Perpajakan berpotensi menghilangkan penerimaan pajak sebesar Rp80 triliun.

“Esensinya tarif turun tapi bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi. Sekitar Rp80 triliun untuk estimasi turunnya karena tarif turun,” kata Suryo di Kantor DJP, Jakarta, Selasa.

Suryo menegaskan potensi hilangnya penerimaan pajak tersebut hanya untuk penurunan PPh sedangkan substansi lain yang juga ada pada RUU Omnimbus Law Perpajakan belum dihitung.

“Fasilitas yang coba diberikan bagaimana uang pajak yang diberikan kepada negara dikembalikan pada bisnis untuk menggerakkan atau ekspansi bisnisnya,” katanya.

Ia menyatakan melalui penurunan PPh diharapkan dapat menciptakan kegiatan ekonomi baru yang memunculkan pajak di dalamnya sehingga mampu lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut terjadi karena penurunan tarif PPh dinilai dapat memberikan insentif baru bagi kegiatan investasi melalui adanya peningkatan terhadap konsumsi maupun jumlah karyawan.

“Jumlah konsumsi meningkat, karyawan bertambah. Harapan eksternalitas dari policy ini untuk meningkatkan perekonomian dan penerimaan pajak,” katanya.

Sementara itu, Suryo menuturkan pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah untuk memitigasi adanya penurunan penerimaan negara tersebut seperti dengan memperluas basis pajak melalui ekstensifikasi dan intensifikasi.

“Pada 2020 kami mencoba mengubah pola kerja kita untuk melakukan ekstensifikasi pengawasan berbasis kewilayahan terutama di KPP Pratama untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi,” katanya.

Ekstensifikasi berbasis kewilayahan merupakan upaya yang dilaksanakan untuk menjaring WP baru berkualitas dengan cara survey lapangan geotagging (SLGT) serta menggunakan basis data kependudukan dan data ILAP.

“Upaya kita bagaimana tax ratio naik melalui perluasan basis perpajakan itu termasuk siapa yang belum masuk kelas jadi kita bawa nanti WP ke dalam sistem. Kita proporsional dan berkeadilan,” ujarnya.

Di sisi lain, ia menyebutkan meskipun draf Omnibus Law Perpajakan telah diserahkan kepada DPR sejak akhir Januari 2020 namun baru akan mulai berlaku dan diimplementasikan jika telah disahkan.

“RUU sudah disampaikan ke dewan akhir Januari. Berlakunya ini ketika diketok dan berlaku jadi kita masih menunggu pembahasan selanjutnya dengan dewan,” ujarnya.

Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak DJP Nufransa Wira Sakti mengatakan untuk proses selanjutnya mengenai Omnibus Law Perpajakan juga masih menunggu keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR terkait pembahasan melalui Badan Legislasi Panja atau Pansus

“Proses pembahasan Omnibus sudah diserahkan 31 januari nanti kita tunggu Bamus DPR untuk membahas apakah RUU akan dibahas di Baleg Panja atau Pansus jadi kita tunggu paripurna dari musyawarah,” katanya.

Baca juga: Indef dorong pemerintah optimalkan basis tax amnesty
Baca juga: Pengamat nilai penerimaan perpajakan meleset dipicu ekonomi global

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020