Pakar sosial ekonomi pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Irham berpendapat bahwa merebaknya wabah virus corona di China seharusnya dipandang sebagai peluang untuk mewujudkan kemandirian produksi bawang putih di Tanah Air.Kejadian ini seharusnya bisa kita pandang sebagai peluang untuk mengembangkan bawang putih secara mandiri
"Kejadian ini seharusnya bisa kita pandang sebagai peluang untuk mengembangkan bawang putih secara mandiri. Seluruh dinas pertanian yang punya potensi (budi daya) bawang putih dikembangkan saja," kata Irham di Yogyakarta, Rabu.
Meski demikian, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM ini memastikan bahwa tanaman bawang putih bukanlah media penularan virus corona seperti rumor yang berkembang.
Baca juga: Pemkab Batang gandeng Bulog siap operasi pasar bawang putih
Menurut Irham, selama ini beberapa sentra produksi bawang putih di Indonesia seperti di Tawangmangu, Jawa Tengah serta Sukabumi, Jawa Barat, belum dikembangkan secara optimal.
Padahal, kata dia, jika serius dikembangkan, di Tawangmangu terdapat varietas bawang putih yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan bawang putih impor.
"Varietas bawang putih (di Tawangmangu) itu bagus hasilnya karena dikembangkan dengan teknologi. Jadi kita memang berpacu dengan teknologi," kata dia.
Menurut dia, produk bawang putih yang diekspor negara lain seperti China ke Indonesia juga dikembangkan dengan rekayasa teknologi. Pengembangannya dengan kultur jaringan sehingga hasilnya bisa seragam dan kemudian banyak diminati oleh pasar.
"Mereka bikin jenis bawang putih yang seragam dan mungkin lebih unggul dengan rekayasa teknologi," kata Irham.
Oleh sebab itu, ia menilai persoalan kemandirian bawang putih bukan disebabkan persoalan tanah yang tidak cocok. Menurutnya, problemnya terletak pada seberapa besar keseriusan pemerintah mewujudkan kemandirian bawang putih sehingga bisa lepas dari impor.
Baca juga: Disperindag DIY meyakini harga bawang putih kembali normal pekan depan
Kendati tidak serta merta dapat menggantikan seluruh bawang putih impor, ia berharap dengan mengoptimalkan pengembangan produksi bawang putih, setidaknya selama kurun 10 tahun ke depan sudah tidak bergantung dengan bawang putih impor.
Ia mencontohkan tekad untuk swasembada itu seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Iran. Swasembada berhasil diwujudkan saat Amerika Serikat (AS) mengembargo pasokan gandum ke negara itu.
"Iran itu kan diembargo gandum Amerika. Pemerintah Iran kemudian bertekad untuk swasembada gandum. (Hasilnya) 10 tahun kemudian berhasil swasembada, dan 10 tahun berikutnya ekspor ke Amerika," kata dia.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag DIY Yanto Apriyanto saat ditemui di Kantor Disperindag DIY, Selasa (11/2) menjelaskan bahwa selama ini sekitar 95 persen kebutuhan bawang putih di Indonesia memang dipenuhi oleh bawang putih impor yang sebagian besar berasal dari China.
Baca juga: Asosiasi eksportir-importir ingin harga bawang putih berangsur stabil
Bawang putih dari petani lokal Indonesia seperti dari Garut, Brebes, Temanggung, hingga NTT, menurut dia, hanya 5 persen karena tidak banyak diminati konsumen.
"Memang untuk jenis bawang putih di Indonesia umbinya kecil-kecil sehingga tidak banyak diminati. Berbeda dengan bawang impor yang besar-besar," kata Yanto.
Sebagai informasi, Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian pada Jumat (7/2) telah menerbitkan izin Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk bawang putih sebesar 103.000 ton dari China.
Keputusan membuka impor bawang putih dilakukan karena stok yang kian menipis. Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga bawang putih Nasional hingga Senin (10/2) sudah mencapai Rp55.300 per kilogram.
Baca juga: Stok bawang putih di Yogyakarta cukup untuk dua bulan
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020