"Kami ingin membangun desain besar, konsep besar tentang penataan birokrasi, penguatan birokrasi, dan ASN di Indonesia. Nah, salah satu bagian itu adalah revisi UU ASN," kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia kepada ANTARA di Lobi Gedung Nusantara II.
Baca juga: Rieke terus perjuangkan revisi UU ASN
Adapun tiga orang profesor yang diundang hadir oleh Komisi II DPR RI dalam RDPU tersebut antara lain Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (UGM) Miftah Thoha, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo.
Doli mengatakan dengan kehadiran tiga orang profesor tersebut dalam RDPU Komisi II DPR RI, diharapkan dapat dipetakan dengan jelas sejumlah persoalan strategis yang mesti diselesaikan terkait reformasi birokrasi dan penguatan ASN.
Perlu diketahui, sejumlah pasal dalam UU ASN sudah cukup banyak dimohon untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut para Pemohon, yang datang dari para guru honorer dan tenaga pemerintah non-PNS, dalam UU ASN dijelaskan bahwa Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tidak serta-merta dapat diangkat secara otomatis menjadi CPNS tetapi harus mengikuti proses seleksi terlebih dahulu.
Sedangkan, tenaga honorer non-PNS tidak dapat mengikuti seleksi CPNS karena terbentur salah satu persyaratan yakni ambang batas usia.
Selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja pegawai kontrak diterapkan atas jangka waktu dan selesainya pekerjaan. Sedangkan UU ASN tidak memberikan batasan waktu mengenai berapa lama seseorang dikontrak sebagai PPPK dalam suatu instansi pemerintah.
Baca juga: Honorer K2 sambut gembira rencana revisi UU ASN
Oleh karena itu, banyak tenaga honorer yang telah menduduki jabatannya sejak lama namun ingin mendaftar menjadi CPNS terbentur dengan adanya persyaratan usia.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menekankan kepada para Pemohon untuk lebih menguraikan kerugian maupun potensi kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon.
“Dalam catatan kami, pasal-pasal yang diuji dalam UU ASN ini sudah cukup banyak. Namun yang perlu diperhatikan para Pemohon, kerugian apa atau potensi kerugian apa yang dialami para Pemohon agar lebih diuraikan, sehingga permohonan menjadi lebih jelas,” ujar Daniel.
Baca juga: DPR minta pemerintah segera bahas revisi UU ASN
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020