• Beranda
  • Berita
  • Halal Watch: Omnibus Law hilangkan peran ulama pada sertifikasi halal

Halal Watch: Omnibus Law hilangkan peran ulama pada sertifikasi halal

17 Februari 2020 18:11 WIB
Halal Watch: Omnibus Law hilangkan peran ulama pada sertifikasi halal
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah (tengah) di acara Milad IHW ke-7 di Jakarta, Kamis (23/1/2020). (ANTARA/Anom Prihantoro)
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mengkritik RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) yang berpotensi menghilangkan peran ulama dalam proses sertifikasi halal.

Ikhsan kepada wartawan di Jakarta, Senin, mengatakan Omnibus Law pada pasal 1 angka 10 berpotensi terjadi pengambilalihan fatwa produk dari ulama kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal.

Dia mengatakan pada pasal tersebut berbunyi, "Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal."

"Maka kami berpandangan bahwa hukum agama telah dikooptasi oleh hukum negara. Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama?" kata dia.

Sementara pada UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 1 angka 10 menyebut, "Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

Baca juga: BPJPH: Omnibus Law tak hapus kewajiban sertifikasi halal

Baca juga: RUU Omnibus Law, FPKS tolak penghapusan kewajiban sertifikasi halal

Baca juga: Kemenag perbaiki aturan sertifikasi halal pada Omnibus Law


"Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat lagi oleh negara bukan dicerabut," katanya.

Ikhsan mengatakan bila RUU Cipta Lapangan Kerja itu mengesahkan ketentuan pasal satu angka 10 maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya Majelis Ulama.

Sementara terminologi halal dan haram, kata dia, adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan.

Fatwa produk halal, kata dia, harus ditetapkan oleh Majelis ulama Indonesia bukan diserahkan kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang-perseorangan.

Dia mengatakan untuk menghindari perbedaan fatwa sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan MUI. Jika diberikan kepada negara, segelintir ormas atau perseorangan justru dapat memecah belah umat Islam itu sendiri.

MUI, kata dia, adalah tempat bernaungnya ormas Islam, berhimpunnya ulama, zuama (pimpinan organisasi Islam) dan cendekiawan Muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 ormas Islam lainnya.

"Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain," katanya.*

Baca juga: FSPMI sebut RUU Cipta Kerja belum berikan kepastian kerja

Baca juga: Emil Salim ingatkan Omnibus Law harus seimbangkan tiga aspek

Baca juga: Said Iqbal : Omnibus Law RUU Cipta Kerja hilangkan pesangon

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020