Sikap Belanda yang tidak mendukung pelarangan penggunaan bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit itu disampaikan Stef Blok saat menerima kunjungan delapan wartawan Indonesia di Den Haag, Selasa (18/2).
"Saya menyesalkan perselisihan yang kini ditangani WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) ini," kata politisi Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) Belanda kelahiran 10 Desember 1964 ini.
Menurut politisi yang mengisi posisi menlu dalam kabinet ketiga Perdana Menteri Mark Rutte sejak 7 Maret 2018 ini, pihaknya mendukung minyak sawit lestari dan nasib para petani sawit skala kecil Indonesia yang bergantung pada sektor ini.
Dukungan Belanda pada minyak sawit lestari di Indonesia itu antara lain ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang produksi bersama minyak sawit nabati (Joint Production on Sustainable Palm Oil) pada 27 September 2019.
Sebuah laporan Parlemen Eropa tahun 2018 (http://www.europarl.europa.eu) menyebutkan industri minyak sawit di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi empat juta orang. Sebanyak 721.000 petani kecil dan pekerja di Malaysia pun bergantung pada sektor ini.
Tak hanya itu, menurut laporan Parlemen Eropa itu, sekitar 11 juta orang di Indonesia dan Malaysia juga secara tak langsung bergantung pada sektor minyak sawit. Karenanya, bagi Pemerintah Indonesia, sektor minyak kelapa sawit ini telah berkontribusi pada upaya mengembangkan daerah perdesaan dan memberantas kemiskinan.
Sebelum Indonesia resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa di WTO pada 9 Desember 2019, isu diskriminasi terhadap minyak sawit ini telah pernah dibahas Menlu Retno L.P.Marsudi dengan Stef Blok dalam kunjungan pertamanya sebagai Menlu ke Jakarta pada 3 Juli 2018.
Namun upaya mendiskusikan masalah ini dengan Uni Eropa kandas. Karenanya, Indonesia mengirimkan "Request for Consultation" (permintaan konsultasi) pada 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa sebagai tahap inisiasi dalam gugatan.
Menurut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam satu pernyataannya beberapa waktu lalu, keputusan itu diambil pemerintah setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit.
Tidak hanya itu, keputusan tersebut juga diambil setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya.
Menurut Mendag, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa melalui kebijakan "Renewable Energy Directive II" (RED II) dan "Delegated Regulation".
Baca juga: Kampanye sawit berkelanjutan Indonesia dilaksanakan di Belanda
Kebijakan-kebijakan itu dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan "biofuel" berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.
Seperti pernah disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana, melalui kebijakan RED II itu, Uni Eropa mewajibkan mulai 2020 hingga 2030 penggunaan bahan bakar di Uni Eropa berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki "Indirect Land Use Change" (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, "biofuel" berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan di Uni Eropa, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
Keputusan Uni Eropa ini tidak hanya akan berdampak negatif terhadap ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa tetapi juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global, katanya beberapa waktu lalu.
Baca juga: CPOPC sampaikan keluhan ke WTO soal diskriminasi kontaminan sawit UE
Baca juga: Kuatkan diplomasi sawit, Indonesia tonjolkan pencapaian SDGs
Baca juga: Indonesia gugat Uni Eropa ke WTO, lawan diskriminasi minyak sawit
Pewarta: Rahmad Nasution
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020