• Beranda
  • Berita
  • Sesmenko Perekonomian: Neraca perdagangan RI-AS berpotensi defisit

Sesmenko Perekonomian: Neraca perdagangan RI-AS berpotensi defisit

24 Februari 2020 14:37 WIB
Sesmenko Perekonomian: Neraca perdagangan RI-AS berpotensi defisit
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono (kanan) ketika diwawancarai wartawan setelah menyerahkan salinan PP kepada pemerintah daerah terkait dan badan usaha pengusul tiga KEK di Jakarta, Senin (6/02/2020). ANTARA/Dewa Wiguna/pri.

Kalau soal keputusan AS keluarkan Indonesia itu kaitannya dengan fasilitas perdagangan karena nanti konsekuensinya kan ke GSP dan sebagainya

Sekretaris Menteri Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan keputusan Amerika Serikat (AS) yang mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang akan membuat neraca perdagangan Tanah Air dengan AS defisit.

“Oh iya, jelas (berisiko defisit),” kata Sesmenko Perekonomian Susiwijono di Jakarta, Senin.

Susiwijono menuturkan hal tersebut berkaitan dengan fasilitas bea masuk impor atau skema Generalized System of Preferences (GSP) yang diberikan AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia akan hilang.

“Kalau soal keputusan AS keluarkan Indonesia itu kaitannya dengan fasilitas perdagangan karena nanti konsekuensinya kan ke GSP dan sebagainya,” kata Susiwijono.

Setelah Indonesia tidak menerima fasilitas GSP, maka diharuskan untuk membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN).

"GSP kita kan sangat besar. Nanti teman-teman Kementerian Perdagangan yang akan menjelaskan,” ujar Susiwijono.

Ia menyebutkan saat ini perdagangan Indonesia dengan AS masih surplus yang dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dolar AS.

“Kita juga masih surplus dengan mereka (AS),” katanya.

Baca juga: Menanti restu "Paman Sam" bebaskan bea masuk impor

Sementara itu pada Minggu (23/2), Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan dampak lain dari keputusan AS adalah Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi karena tidak mendapat fasilitas lagi sebagai negara berkembang.

Selain itu, fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi turut dicabut.

“Kita bicara mengenai hubungan utang, maka kita tidak dapat lagi klasifikasi ODA karena dengan itu kita akan mampu mendapatkan bunga yang murah kalau di bawah 4.000 dolar AS bisa dapat 0,25 persen,” kata Fithra.

Baca juga: Bertemu USTR, Mendag sebut GSP rampung bulan depan

Baca juga: Sesmenko Perekonomian: Dampak Virus Corona akan terasa mulai Maret ini




 

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020