Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menjelaskan soal pembubaran Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan (TP4) kepada Pejabat Pemerintahan Daerah.Ini sungguh-sungguh bertentangan karena harusnya mereka berdasarkan Undang-Undang ikut mengawasi, mengawal pembangunan, artinya tidak ikut dalam sistem. Kalau dalam sistem, itu bukan mengawasi."
"Saya melihat ada kelemahan di sini karena jaksa dilibatkan, dimasukkan ke dalam sistem yang ada. Misalnya Kejaksaan ikut dalam kepanitiaan pelelangan," ujar Jaksa Agung saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk Penegakan Hukum dalam Kerangka Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Percepatan Pembangunan Daerah, yang digelar DPD RI di Kompleks Parlemen RI, Senayan Jakarta, Senin.
Baca juga: Kinerja Kejagung 2019, dari bubarkan TP4 hingga sita aset Supersemar
Baca juga: TP4 Kejagung kawal pembangunan proyek strategis Rp900 triliun
Baca juga: Kejaksaan Agung kawal pembangunan bandara baru Yogyakarta
Ia mengatakan apabila Kejaksaan Agung dimasukkan ke dalam TP4 berarti peran Kejaksaan Agung bukan lagi mengawasi pembangunan.
Padahal keberadaan Kejaksaan di dalam mengawasi proyek pembangunan itu adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004.
"Ini sungguh-sungguh bertentangan karena harusnya mereka berdasarkan Undang-Undang ikut mengawasi, mengawal pembangunan, artinya tidak ikut dalam sistem. Kalau dalam sistem, itu bukan mengawasi," kata Jaksa Agung.
Ia mencontohkan kasus di Yogyakarta, dimana ada oknum petugas TP4 Kejaksaan yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ikut dalam tender proyek.
"Dia menjadi panitia tender, kalau dia masuk dalam sistem artinya dia ikut menentukan siapa pemenang tendernya. Dan yang terjadi adalah kolusi di situ," kata Burhanuddin.
Kolusi yang dilakukan oknum pejabat kejaksaan itu, kata Burhanuddin, bisa dengan cara meminta tolong agar temannya dijadikan pemenang tendernya.
Potensi kolusi itu dianggap bermasalah oleh Jaksa Agung.
Kemudian, Burhanuddin juga bercerita soal potensi korupsi yang mungkin tidak sengaja diberikan pemerintah daerah karena memberikan kewenangan cukup besar bagi pejabat Kejaksaan di TP4 dalam mengawasi penggunaan seluruh Anggaran Penerimaan Belanja Daerah (APBD).
"Sampai pembelian kertas saja, itu diminta diawasi oleh Kejaksaan. Ini kan innalillahi wa innailaihi rojiun. Masa membeli kertas saja harus Jaksa yang mengawasi," kata dia.
Padahal di internal pemerintah daerah masing-masing memiliki aparat auditor intern dan inspektoratnya.
"Tolong itu dikembalikan pada tujuannya. Tujuan TP4 itu untuk proyek-proyek strategis," kata Burhanuddin.
Karena merasa sudah menyeleweng dari tujuan pembentukannya, Jaksa Agung pun mengambil keputusan, "oke kita tutup TP4" ujar dia.
Namun, TP4 itu bukan dibubarkan melainkan dikembalikan kepada Kejaksaan agar tujuannya semula yaitu pengamanan dan pengawalan proyek strategis bisa dilaksanakan langsung oleh Kejaksaan Agung.
Wewenang tersebut memang sudah semestinya berada di Kejaksaan Agung, oleh karena itu, Jaksa Agung mengatakan apabila Pemerintah Daerah membutuhkan pengamanan dan pengawalan proyek strategis bisa meminta langsung kepada Kejaksaan.
"Yang pasti kami mengawal jangan sampai terjadi tindak pidana korupsi dan proyek pembangunan sampai sesuai dengan rencana," kata Burhanuddin.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga membuka diri kepada Gubernur yang ingin mengamankan aset-aset daerahnya.
Terutama, aset-aset yang berada pada pihak ketiga yang begitu banyak. Ia mencontohkan seperti di Surabaya.
Wali Kota Surabaya, kata Jaksa Agung, meminta tolong Kejaksaan untuk pengamanan aset-aset daerahnya yang dimiliki oleh pihak-pihak ketiga.
"Kami kembalikan aset-aset pemerintah kota Surabaya sebanyak Rp10 triliun. Saya yakin di semua daerah pasti banyak sekali aset-aset yang ada di pihak ketiga, baik itu mungkin di pengusaha maupun di eks-para pejabat di daerah," kata Burhanuddin.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020