Hasil kajian menunjukkan adanya potensi gempa magnitudo 8,7 di Sukabumi karena wilayah pesisirnya secara tektonik berhadapan dengan zona megathrust Samudera Hindia dengan subduksi lempeng aktif yang memiliki aktivitas kegempaan tinggi.Gempa bukan sesuatu yang asing di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten,
Tapi fakta dari kajian tesebut bukan merupakan prediksi waktu kapan akan terjadi gempa, tegas Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono.
Hasil kajian BMKG yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa zona megathrust Selatan Sukabumi memiliki magnitudo gempa tertarget yaitu M 8,7. Kajian potensi bahaya sangat penting dilakukan untuk tujuan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, bukan untuk menakut-nakuti masyarakat, kata Rahmat dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Kajian potensi dilakukan agar pemerintah daerah dapat menyiapkan upaya mitigasi secara tepat dalam bentuk mitagasi struktural yaitu secara teknis atau non-teknis seperti pendekatan kultural, kata dia.
Baca juga: BMKG: Segmen megathrust Nias-Simeulue miliki magnitudo tertarget 8,7
Menurut Rahmat, gempa bukan sesuatu yang asing di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten. Dengan catatan sejarah menunjukkan terjadi gempa kuat M 8,5 pada 22 Januari 1780, gempa M 8,1 pada 27 Februari 1903, dan 17 Juli 2006 dengan kekuatan M 7,8.
BMKG sendiri sudah melakukan pemodelan peta tingkat guncangan gempa (shakemap) dengan skenario gempa M 8,7 di zona megathrust menunjukkan dampak gempa di Sukabumi dapat mencapai skala intensitas VIII-IX MMI yang artinya dapat merusak bangunan.
Jika dimasukkan dalam model tsunami dengan skenario tersebut maka di wilayah Pantai Sukabumi diperkirakan adanya potensi mengalami status "Awas" dengan ketinggian tsunami berada di atas 3 meter.
Hal penting yang harus dipahami oleh masyarakat bahwa besarnya magnitudo M 8,7 tersebut di atas adalah potensi hasil kajian dan bukan prediksi. Meskipun kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo di zona megathrust, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan gempa akan terjadi, tegas Rahmat.
Baca juga: Benarkah gempa Lombok sebabkan "megathrust" Pulau Jawa dalam waktu dekat?
Karena itu BMKG meminta agar pemerintah mempertimbangkan peta rawan bencana dalam penataan ruang dan wilayah, termasuk wilayah pesisir yang aman dari tsunami. Selain itu perlu adanya upaya serius untuk memperkuat penerapan syarat pembangunan dengan struktur bangunan tahan gempa.
Sosialisasi harus dikuatkan untuk membuat masyarakat lebih siap menghadapi bencana seperti memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa dan tsunami. Selain itu, jalur evakuasi dan shelter penyelamatan perlu juga dipersiapkan.
Baca juga: BMKG: Pembahasan sesar aktif gempa sudah saatnya sering dilakukan
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2020