"Menurut saya, tidak ada garansi kemenangan, karena penyatuan partai Islam sudah pernah dilakukan pada tahun 1972," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan wacana penyatuan partai Islam sebagai kendaraan politik umat yang mayoritas di Indonesia ini.
Wacana penyatuan partai Islam kembali dinarasikan oleh berbagai pihak. Wacana ini pernah digagas oleh Forum Umat Islam (FUI) beberapa tahun lalu, namun tidak mendapatkan respon yang memuaskan dari para politisi Islam.
Upaya menyatukan partai Islam ini sebagai reaksi atas kekecewaan akan kekalahan partai Islam sejak orde lama, orde baru dan orde reformasi dalam pentas politik nasional dalam perebutan kekuasaan politik.
Dia mengatakan, secara kuantitatif, umat Islam memang mayoritas, namun secara politik selalu dikalahkan oleh aliran politik nasionalis.
Menurut Ahmad Atang, asumsi bahwa penyatuan partai Islam sebagai kendaraan politik umat, tidak selalu benar karena penyatuan partai Islam pernah dilakukan pada tahun 1972, yang dikenal dengan fusi partai.
Fusi partai, yakni peleburan partai Islam seperti partai Masyumi, Partai NU, Permusi, Serikat Islam, Persatuan Islam dan lain-lain ke dalam partai baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Jadi PPP merupakan cikal bakal dari penyatuan partai Islam. Sedangkan partai Nasionalis meleburkan diri dalam PDI," katanya.
Dia mengatakan, belajar dari sejarah penyatuan partai Islam tidak membuat PPP sebagai partai Islam menang pemilu, justru PPP selalu kalah dari pemilu ke pemilu.
Baca juga: Presiden sebutkan alasan pilih menteri berlatar belakang parpol
Baca juga: Pengamat: pembagian kursi menteri sesuai proporsionalitas suara parpol
Baca juga: Dunia usaha kritisi tim ekonomi didominasi kader parpol
Baca juga: Pengamat: Empat modal yang dibutuhkan Gelora, parpol sempalan PKS
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020