Buruh di Jambi unjukrasa tolak RUU Cipta Karya

11 Maret 2020 10:35 WIB
Buruh di Jambi unjukrasa tolak RUU Cipta Karya
Ratusan pekerja buruh dari berbagai daerah di Jambi menggelar aksi ujuk rasa menolak RUU Cipta Karya. ANTARA/Nanang Mairiadi/am.
Ratusan pekerja buruh yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Jambi menggelar aksi unjukrasa, Rabu, di Gedung DPRD Provinsi Jambi dengan tuntutan menolak pengesahan RUU Cipta Karya yang mereka nilai akan mengancam hak-hak pekerja atau buruh.

"RUU Cipta Kerja yang saat ini telah diusulkan pemerintah pusat kepada DPR, maka kami buruh di Jambi menolaknya untuk disahkan karena akan terancam hak-haknya sebagi pekerja atau buruh nantinya," kata koordinator aksi, Hendra Ambarita.

Unjukrasa ini dimulai dengan jalan kaki yang dari simpang IV Bank Indonesia menuju Gedung DPRD Provinsi Jambi dan ratusan buruh itu datang dari para buruh berbagai daerah di Provinsi Jambi.

Dalam tuntutan mereka pada aksinya ratusan buruh itu dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja. Dimana, mereka menilai negara dalam hal ini seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat tanpa terkecuali buruh.

Namun negara dalam hal ini pemerintah justru membuat masyarakat pekerja atau buruh resah. Bagaimana tidak, dengan pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan pemerintah kepada DPR sangat berpotensi mendiskreditkan hak-hak pekerja yang sebelumnya telah diatur dalam UU Nomor 13/2003, di antaranya memperluas kesempatan bagi Tenaga Kerja Asing untuk bekerja di Indonesia.

Kemudian, memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk membuat perjanjian kerja dalam hal ini perjanjian kerja waktu tertentu atau kontrak tanpa batasan waktu, kemudian lagi bahwa pekerja alih daya tidak punya hubungan hukum lagi dengan pengusaha pemberi pekerjaan, upah minimum hanya didasarkan pada PET tanpa perlu lagi memperhatikan komponen hidup layak.

Selanjutnya, upah minimum yang digunakan hanyalah Upah Minimum Provinsi (upah minimum kobupaten kota atau sektor dihapuskan), gubernur yang tidak menetapkan upah minimum hanya dikenakan sanksi sesuai UU Pemerintahan Daerah dan dalam hal gubernur diberikan sanksi karena tidak menetapkan Upah Minimum maka Upah Minimum yang berlaku adalah Upah Minimum Tahun sebelumnya.

Kemudian, kata Ambarita dalam orasinya, terkait cuti panjang dalam RUU Cipta Kerja bukan lagi sesuatu yang wajib karena diganti dengan kata "dapat" apabila diperjanjikan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, dihapusnya cuti haid dan cuti lain kecuali hak cuti tahunan.

RUU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pengusaha dalam mempekerjakan pekerja atau buruh dengan upah per jam dan selain itu bahwa penghargaan masa kerja yang diterima nilainya menurun, yang mana dulu maksimal 10 bulan upah dalam RUU Cipta Kerja menjadi delapan bulan upah, dalam hal terjadi PHK pengusaha tidak wajib lagi membayarkan uang pengganti hak kecuali diperjanjikan dalam perjanjian kerja.

Pewarta: Nanang Mairiadi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020