"Menurut teorinya tidak ada patokan angka pasti mengenai ambang batas yang ideal," kata pengampu mata kuliah Teori Partai Politik dan Sistem Pemilu FISIP Universita Jenderal Soedirman itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Ia mengatakan semuanya tergantung pada prioritas yang akan dicapai sesuai dengan konteks sosial politik masing-masing negara. Dengan demikian, kata dia, tarik menariknya adalah antara keinginan untuk menghadirkan keterwakilan atau efektivitas yang maksimal.
Baca juga: Ambang batas parlemen tujuh persen kuatkan dominasi oligarki politik
"Menurut saya, ambang batas saat ini (yang sebesar empat persen) sudah cukup sesuai dengan konteks sosial politik kita," katanya.
Pada satu sisi, kata dia, ambang batas yang sebesar empat persen tetap mewadahi representasi politik yang beragam dan di sisi lain sudah ada dampak efektifnya terhadap upaya penyederhanaan sistem kepartaian.
Ia mengatakan pada periode ini, partai yang duduk di parlemen sudah berkurang satu dengan tidak lolosnya Partai Hanura ke DPR, selain partai-partai yang memang pada periode sebelumnya tidak lolos, yakni PBB dan PKPI.
Baca juga: Gerindra tidak persoalkan PT jadi 7 persen
"Empat partai baru yang lain pun (PSI, Perindo, Garuda, dan Berkarya) juga tidak ada yang bisa lolos. Artinya, besaran parliamentary threshold tidak perlu ditingkatkan, karena sekali lagi, sudah berdampak," katanya.
Sabiq mengatakan para politikus akan berpikir ulang untuk mendirikan dan mengusung partai baru kalau jerih payahnya muspra karena kalau dinaikkan menjadi tujuh persen, akan menyebabkan banyak suara yang sia-sia lantaran tidak terkonversi menjadi kursi dan hilangnya sejumlah partai yang memiliki konstituen nyata dari parlemen.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020