Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mendorong peran mahasiswa serta pelajar di berbagai daerah untuk dapat meningkatkan inklusi dan literasi keuangan secara nasional.Upaya kita untuk melakukan kerja sama dalam membangun ekonomi Indonesia dengan meningkatkan peran mahasiswa dalam perekonomian Indonesia
Hal tersebut dilakukan dengan mewajibkan para mahasiswa mengetahui dan memahami industri jasa keuangan yang salah satunya melalui program One Student One Account (OSOA).
“Upaya kita untuk melakukan kerja sama dalam membangun ekonomi Indonesia dengan meningkatkan peran mahasiswa dalam perekonomian Indonesia,” katanya di Universitas Andalas, Padang, Jumat.
Nurhaida menuturkan dengan peran aktif mahasiswa diharapkan dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan inklusi serta literasi keuangan secara nasional yang saat ini dinilai masih kurang.
Ia menyebutkan survei OJK terhadap inklusi keuangan dari tahun ke tahun cukup meningkat yaitu pada 2013 sebesar 59,74 persen, 67,8 persen untuk 2016, dan 2019 sebesar 76,19 persen.
Di sisi lain, untuk hasil survei literasi keuangan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian inklusi keuangan yaitu pada 2013 hanya 21,84 persen, 2016 sebesar 29,7 persen, dan 38,03 persen saat 2019.
“Dilihat dari capaian itu kita bersyukur karena pada 2019 lalu target pemerintah untuk inklusi keuangan 75 persen sehingga kita sudah melewati target pemerintah,” kata Nurhaida.
Nurhaida mengaku OJK belum puas dengan pencapaian tersebut karena potensi perekonomian Indonesia sangat besar sehingga diharapkan seluruh mahasiswa dapat turut berperan aktif.
“Kalau menabung maka mereka tahu ternyata di perekonomian kita ada produk untuk berinvestasi dalam hal ini menabung. Lalu diharapkan mereka bisa meningkat menjadi memahami ada investasi lain di sektor keuangan,” jelasnya.
Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan ketimpangan antara literasi dan inklusi keuangan berpotensi menimbulkan masalah lain.
“Hasil survei bahwa terjadi gap yang cukup besar antara inklusi dan literasi kita. Ini artinya risiko yang kita hadapi itu tinggi,” katanya.
Tirta menuturkan ketimpangan hasil survei menandakan masyarakat hanya membeli produk keuangan namun tidak memahami beberapa aspek penting lainnya seperti risiko, kewajiban, dan pembiayaan.
“Masyarakat membeli produk keuangan, investasi dan sebagainya tapi mereka tidak paham risikonya apa, kewajibannya apa, biaya-biayanya berapa. Ini masyarakat belum paham,” katanya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020