Dengan adanya komitmen itu, upaya perang melawan eksploitasi seksual terhadap anak di kawasan wisata ASEAN yang melibatkan kejahatan transnasional, diharapkan akan lebih terkoordinasi dan terukur, demikian statemen yang disampaikan di kawasan wisata Pantai Sanur, Bali, Kamis.
Statemen di tengah-tengah penyelenggaraan konferensi selama tiga hari yang menghadirkan 25 pembicara dari berbagai negara itu, disampaikan Koordinasi Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ECPAT) grup afiliasi di Indonesia, Ahmad Sofian.
Komitmen itu melibatkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata diwakili Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, I Gusti Putu Laksaguna, Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dr Surjadi Soeparman, dari Plan International, Jipy Priscilia, serta Direktur Regional Refresentative Terre Des Hommes (TDH) Belanda, Frans van Dijk.
Melalui koordinasi dan penanganan yang terukur, upaya perang melawan eksploitasi seksual terhadap anak di kawasan wisata ASEAN diharapkan segera mencapai kemajuan yang berarti, di samping mengetahui kendala-kendala yang dihadapi.
Pariwisata seks anak atau "Child Sex Tourism-CST", merupakan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) yang dilakukan orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat yang lain dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Wisatawan seks anak itu bisa orang asing atau orang lokal.
Ahmad Sofian menegaskan bahwa pariwisata bukan penyebab ESKA, tetapi para pelakulah yang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh jasa travel, hotel, penginapan, restoran dan jasa sektor pariwisata lainnya sebagai sarana kejahatan tersebut.
Anak-anak menjadi rentan sebagai korban CST disebabkan oleh berbagai hal, seperti masih adanya stigma negatif masyarakat, tradisi adat istiadat yang menyimpang, diskriminasi, perilaku seks dan mitos yang tidak bertanggungjawab.
Kemudian karena kondisi kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, situasi darurat, situasi konflik, tinggal dan bekerja di jalanan, HIV/AIDS, pola hidup konsumerisme, adopsi, hukum yang tidak layak dan korupsi serta teknologi informasi dan komunikasi.
Melalui konferensi yang didukung berbagai pihak, para pembicara mengetengahkan berbagai bahan presentasi seputar kejahatan CST dari berbagai aspek, seperti fenomena ESKA di kawasan wisata, perundang-undangan, penegakan hukum, dan isu lintas batas.
Kemudian aspek tanggung jawab sosial perusahaan dan partisipasi sektor swasta, peran media massa, dukungan pengasuhan dan perlakuan terhadap korban CST, tantangan kerjasama di tingkat nasional serta kode etik pariwisata.
Peserta konferensi saling berbagi pengalaman dalam memerangi masalah pariwisata seks anak yang telah dikembangkan/dilaksanakan di kawasan ini serta menyusun mekanisme kerjasama dalam memerangi atau mengatasi masalah pariwisata seks anak di Asia Tenggara.
Melalui konferensi ini diharapkan akan terpetakan masalah dan situasi pariwisata seks anak di kawasan ASEAN, teridentifikasinya model-model dan pengalaman terbaik dalam menangani masalah pariwisata seks anak, sehingga bisa direplikasi di kawasan yang belum melaksanakannya.
Kemudian terbangunnya koordinasi dan kerjasama antarberbagai kelompok kepentingan di Asia Tenggara dalam memberantas pariwisata seks anak, dengan berdasarkan komitmen ini.
Konferensi yang dihadiri sedikitnya 300 peserta dari Asia Tenggara dan Asia lainnya, kawasan Eropa, Amerika dan Afrika itu, diilhami hasil Kongres Dunia III Menentang ESKA yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, 25-28 Nofember 2008.
Kongres Brasil tersebut menghasilkan pembentukan pakta (perjanjian) untuk mencegah dan menghentikan eksploitasi seksual terhadap anak dan remaja yang kemudian mengilhami dilaksanakannya konferensi ini. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009