Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Dicky Pelupessy mengatakan perlu membangun komitmen dari seluruh lini termasuk pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, penjual, pemilik toko untuk mencegah pembelian barang secara panik dan berlebihan (panic buying) saat menghadapi pandemik COVID-19Komitmen bersama itu dapat dilakukan dengan pemerintah memastikan ketersediaan pasokan kebutuhan aman, memberikan bukti sosial kepada masyarakat. Sementara, masyarakat diminta untuk membeli barang-barang kebutuhan dengan menggunakan akal sehat
"Perlu dilakukan secara bersama-sama, duduk bersama mengidentifikasi apa yang menjadi sumber kecemasan dan dari situ kemudian dibicarakan langkah-langkah mengatasinya," katanya dalam jumpa pers yang diadakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Kantor Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu.
"Panic buying" adalah fenomena di mana masyarakat melakukan pembelian berlebih atau yang biasa disebut penimbunan barang tertentu pada saat terjadi situasi darurat.
Ia mengatakan komitmen bersama itu dapat dilakukan dengan pemerintah memastikan ketersediaan pasokan kebutuhan aman, memberikan bukti sosial kepada masyarakat.
Sementara, masyarakat diminta untuk membeli barang-barang kebutuhan dengan menggunakan akal sehat (common sense) untuk membeli barang seperlunya, tidak bersikap egois dengan menimbun barang, memahami barang-barang tersebut juga bukan hanya dibutuhkan diri sendiri tapi juga banyak orang lainnya serta memahami bahwa wabah virus COVID-19 ini dialami dan merupakan masalah bersama yang harus ditangani bersama.
Begitu juga dengan pihak lain diminta untuk tidak melakukan penimbunan produk. Sementara, pihak toko yang menjual barang ikut melakukan pengawasan dengan mengimbau masyarakat berbelanja barang kebutuhan seperlunya saja.
Dicky yang pernah menjadi Ketua Pusat Krisis di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa dasar munculnya "panic buying" pada saat ini adalah kecemasan karena wabah virus COVID-19. Selain itu, rasa cemas juga muncul karena informasi yang diterima masyarakat tidak jelas, tidak utuh dan tertutup.
Dosen di bidang studi Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan saat ini orang-orang cemas karena takut barang-barang yang dibutuhkan tidak ada di pasaran.
Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan pasokan barang aman dan menggambarkan rantai pasokan secara detail sehingga menjadi bukti yang bisa diterima masyarakat untuk mereka merasa aman.
Dalam kasus wabah virus COVID-19 ini, barang-barang yang menjadi incaran warga masyarakat adalah penyanitasi tangan (hand sanitizer) dan masker. Akibatnya, masyarakat berbondong-bondong encari dan membeli produk-produk tersebut, di mana harga kedua barang itu menjadi melonjak tinggi, dan sulit dicari dan didapatkan.
Selain memastikan pasokan aman, langkah lain yang dilakukan untuk mengurangi kecemasan di masyarakat adalah penyediaan informasi yang akurat, tepat dan utuh sehingga masyarakat juga menerima informasi secara komprehensif dan jelas. Media juga berperan dalam memastikan informasi yang disampaikan akurat dan komprehensif.
"Kalau kita mau komprehensif mengurangi kecemasan bukan hanya bicara soal memastikan pasokan aman, memberikan informasi yang akurat dan tepat apakah pasokan ada, bagaimana rantai pasokan dua minggu ke depan sebulan ke depan tapi seterusnya perlu mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa membuat orang cemas," demikian Dicky Pelupessy.
Baca juga: Wapres imbau masyarakat jangan "panic buying"
Baca juga: Dampak corona, pemerintah sanksi pedagang yang permainkan harga
Baca juga: Perilaku "panic buying" terjadi karena ketakutan secara tiba-tiba
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020