Laman The New York Times menyebut, pihak rumah sakit di Amerika Serikat masih menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) untuk memulai studi, walau tidak ada jaminan hal ini memiliki hasil positif.
"Kita tidak tahu hingga mencobanya, tetapi bukti historis mendukung," kata Dr. Arturo Casadevall dari Johns Hopkins University’s school of public health.
Dr. Jeffrey Henderson dari Washington University School of Medicine di St. Louis mengatakan, saat seseorang terinfeksi oleh kuman tertentu, tubuh mulai membuat protein yang dirancang khusus yang disebut antibodi untuk melawan infeksi.
Setelah orang tersebut pulih, antibodi-antibodi itu mengapung dalam darah para penyintas - khususnya plasma, bagian cair dari darah - selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Studi nantinya menguji apakah memberikan infusi plasma kaya antibodi kepada pasien COVID-19 akan meningkatkan upaya tubuh mereka sendiri untuk melawan virus.
Untuk penelitian COVID-19, para ilmuwan akan mengukur berapa banyak antibodi dalam satu unit plasma yang disumbangkan.
Para peneliti tidak khawatir kesulitan menemukan donor sukarela. Mereka mengingatkan akan membutuhkan waktu untuk membangun persediaan.
“Saya mendapatkan beberapa email dari orang-orang yang mengatakan, 'Dapatkah saya membantu, dapatkah saya memberikan plasma saya?'” kata Dr. Liise-anne Pirofski dari New York's Montefiore Health System and Albert Einstein College of Medicine.
Baca juga: Facebook larang iklan klaim obat corona
Baca juga: WHO: Hindari konsumsi ibuprofen untuk obati gejala virus corona
Baca juga: Perusahaan Jepang kembangkan obat untuk virus corona
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020