Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr.dr. H. Ari Fahrial Syam menuturkan masalah keterlambatan pasien untuk pemeriksaan diri ke rumah sakit dan kesiapan fasilitas layanan kesehatan menjadi bagian dari sejumlah faktor yang menyebabkan beberapa pasien dalam pengawasan (PDP) terkait COVID-19 meninggal dunia."... masalah keterlambatan pasien datang ke rumah sakit rujukan. Cuma kita juga tidak bisa menyalahkan ke pasien karena kondisi rs rujukan yang sudah penuh, sehingga pasien ada cerita pasien harus muter-muter dulu ujung-ujungnya akhirnya bisa masuk k
"Kita melakukan analisa mengenai faktor-faktor resiko kematian kasus-kasus yang ada. Pertama, masalah keterlambatan pasien datang ke rumah sakit rujukan. Cuma kita juga tidak bisa menyalahkan ke pasien karena kondisi rs rujukan yang sudah penuh, sehingga pasien ada cerita pasien harus muter-muter dulu ujung-ujungnya akhirnya bisa masuk ke rumah sakit rujukan," kata Ari kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Padahal penanganan untuk proses perawatan pasien COVID-19 berkejaran dengan waktu, harus secepat mungkin.
Kecepatan pemeriksaan diri untuk deteksi COVID-19 dan kesiapan fasilitas rumah sakit akan berpengaruh untuk percepatan penanganan pasien sehingga.
Baca juga: Tiga kriteria pasien yang diterima RSD Wisma Atlet
Faktor lain juga adalah usia pasien dan riwayat penyakit penyerta. Ari menuturkan umumnya yang meninggal adalah mereka yang di atas usia 50 dan 60 tahun, kemudian mereka memiliki penyakit penyerta seperti kencing manis dan paru obstruktif kronis karena ada riwayat merokok atau asma.
Ari menuturkan ketersediaan peralatan kesehatan juga mendukung kecepatan penanganan pasien terutama di saat kondisi mendesak. Misalnya, di saat pasien memerlukan ventilator dan perlu cuci daarh namun ketersediaan ventilator kurang dan alat cuci darah juga terbatas. Maka, perlu waktu lagi untuk mendapatkan alat-alat itu.
Ari menilai permasalahan yang sekarang ini terjadi memang tidak mudah. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana bisa menekan penyebaran pasien dan penularan COVID-19 karena kalau jumlah kasus penderita COVID-19 makin lama makin banyak sejatinya pasti fasilitas kesehatan tidak bisa mengelola pasien-pasien itu jika terjadi lonjakan pasien dalam waktu cepat.
Saat ini, lanjut Ari, ada satu solusi yang muncul yaitu dibangunnya rumah sakit darurat Corona yang bertempat di Wisma Atlet. Setidaknya Wisma Atlet itu dapat menangani pasien-pasien yang tergolong kondisi kesehatannya ringan sehingga rumah sakit rujukan bisa menangani kasus-kasus yang berat.
Baca juga: Peneliti sarankan pemerintah tak umumkan kematian pasien COVID-19
Namun, harus diantisipasi hal terburuk yakni jika terjadi lonjakan pasien karena penyebaran dan penularan COVID-19 yang masif. Maka dari itu, langkah yang penting dilakukan adalah pengendalian penyakit COVID-19 dan persebarannya, diantaranya dengan tegas melakukan jaga jarak aman dan menghentikan mobilisasi orang antar daerah.
Ari menuturkan sedari awal sebaiknya rumah sakit lain juga harus bersiap untuk merawat jika ada pasien COVID-19 datang berobat, agar bisa segera melakukan penanganan terhadap pasien.
"Jangan dia (rumah sakit di luar rumah sakit rujukan) ketakutan ada pasien COVID-19 di over ke rumah sakit lain. Karena kalau tidak begitu, pasien itu bisa istilahnya "terlantar di jalanan", kenapa? maksudnya karena memang tidak bisa disalahkan juga rumah sakit itu mindah-mindahin karena memang dia tidak siap, kemudian rumah sakit rujukan penuh juga jadi ini memang bukan persoalan yang mudah," katanya.
Baca juga: Pakar kesehatan: Pasien meninggal COVID-19 tak menularkan penyakitnya
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020