Pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1777 M), Bangka di bawah Kesultanan Palembang Darussalam semakin ramai dengan pembukaan penambangan timah Bangka yang berhasil.Semoga kita dapat melalui masa krisis ini dengan aman. Walaupun jika kita telah melewatinya, saya tidak percaya corona adalah kasus virus terakhir yang menjadi pandemi bagi dunia.
Pemimpin atas Bangka di Mentok, Wan Akub yang bergelar Datuk Rangga Setia Agama, meninggal dan digantikan Rangga bernama Wan Usman. Wan Usman diangkat oleh Sultan sebagai Rangga atau kepala pemerintahan dari sekalian tanah Bangka. Jabatan Rangga sama dengan kedudukan menteri di Palembang dengan gelar Datuk Aji Rangga Usman serta dikaruniai satu kopiah emas, satu keris, empat tombak dan satu tepak tanda sebagai Kepala Tanah Bangka.
Pada masa pelantikan Rangga Usman, Sultan memanggil semua patih dan batih pesirah tanah Bangka untuk memberikan mandat kepada Rangga (10 perkara/ketentuan) dan Batin Pesirah, Batin Pegandang dan Batin Kecil (45 perkara/ketentuan). Ketentuan tersebutlah yang kemudian disebut "Sindang Mardika", sebuah hukum yang berlaku bagi seluruh tanah Bangka.
Sindang Mardika bersumber dari aturan adat Bangka yang telah ada kemudian diperbaharui dan ditambah sesuai dengan aturan yang berlaku di Kesultanan Palembang Darussalam.
Sindang Mardika yang pernah diterapkan di Pulau Bangka lebih 200 tahun yang lalu, tampaknya menarik untuk dimaknai kembali terkait kondisi saat ini dimana dunia sedang dalam ancaman virus corona (COVID-19).
Sepuluh perkara (ketentuan) kepada Rangga dan 45 perkara (ketentuan) yang berlaku untuk Batin Pesirah, Batin Pegandang, dan Batin Kecil di seluruh tanah Bangka, cukup luas dan lengkap mengatur perihal kehidupan masyarakat pada saat itu.
Salah satu ketentuan yakni pada perkara ke-36, disebutkan "andainya ada penyakit keras atau sebab binatang buas di dalam kampung, maka itu kampung belum sampai itu perkara, maka itu kampung yang belum kena penyakit diberi tanda satu kayu yang terkupas di tengah jalan atau di tengah hutan yang mau masuk di kampungnya supaya jangan orang kampung yang punya penyakit masuk ke dalam dia punya kampung. Dan begitu juga jikalau melanggar segala kepercayaan atau pantangan yang kecil-kecil dari dia punya adat maka kena denda 4 sampai 40 ringgit terbagi kepada segala orang yang di dalam kampung".
Ketentuan di atas menunjukkan betapa 200 tahun yang lalu di Pulau Bangka telah mengenal sistem "lockdown" atau karantina wilayah yang saat ini menjadi viral diterapkan hampir di seluruh dunia dalam upaya pencegahan virus corona.
Pemahaman dan pengetahuan pemimpin dan masyarakat lokal di Pulau Bangka sudah cukup tinggi untuk mengerti bahwa mengisolasi wilayah untuk kepentingan bersama dalam beberapa waktu, adalah bagian dari upaya pertahanan komunal dari ancaman baik wabah maupun binatang buas yang berbahaya.
Lihatlah Bangka hari ini. Seberapa efektif imbauan pemerintah dipatuhi oleh warga masyarakat? Imbauan pencegahan preventif untuk tidak berkumpul yang telah dikeluarkan ternyata tidak serta merta diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di beberapa peristiwa masih ditemukan kegiatan berkumpul di tempat publik, piknik ke pantai, bahkan spanduk imbauan (di beberapa tempat publik) pun hilang oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Menurut saya, kecenderungan tingkat kepatuhan orang di Pulau Bangka berada di bawah kepatuhan orang di Pulau Jawa. Tingkat kepatuhan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kepercayaan masyarakat kepada otoritas publik (pemerintah).
Mungkin hal ini yang dapat menjadi potret mengapa masyarakat Jawa lebih patuh atas perintah Sultan (kasus di Yogyakarta) yang memang telah memiliki pengaruh sejak ratusan tahun memerintah di sana.
Investasi atas nilai "trust" sosial yang ternyata bermanfaat pada masa-masa krisis seperti ini.
Sistem produksi ekonomi masyarakat agraris juga memberi dampak baik bagi pengalaman berorganisasi secara komunal serta bereaksi patuh atas himbauan penguasa.
Berbeda dengan Pulau Bangka sejak era penambangan timah massal yang bekerja dengan sistem buruh/shift, bersifat industrialisasi. Menyisakan sedikit masyarakat berkebun dengan kearifan lokalnya yang semakin tergerus. Padahal pada kondisi seperti saat ini dibutuhkan sebuah kerja sama yang solid dan efektif.
Kepemimpinan terpercaya dan informasi yang valid dan akurat, dan manajemen sosial yang dipatuhi.
Dalam perjalanan sejarah, otoritas publik yang dipercaya oleh masyarakatnya, kelompok ahli yang mampu secara cepat menawarkan solusi, dan jaminan keteraturan menjadi syarat untuk melalui masa sulit seperti ini.
Mari berspekulasi
Negatif saja dulu. Jika kondisi ini terus berjalan dengan tidak ada kontrol sosial dengan manajemen yang baik, ketika tidak ada kepercayaan atas otoritas publik, kerja sama yang baik, dan informasi yang akurat, dampak umum adalah terjadi kekhawatiran berlebih, panik, lalu sporadis, dan menjadi anarkis.
Wabah tak tertanggulangi dengan sistematis, kondisi sosial hancur (tanpa informasi yang valid dan akurat masyarakat menjadi mudah berprasangka, hoaks merajalela, bibit permusuhan atas konflik horizontal mudah terbuka), logistik (sembako) langka, memunculkan spekulan yang memanfaatkan kondisi krisis, pemerintahan memiliki legitimasi yang semakin rendah. Chaoslah sudah.
Sejarah Nusantara memaparkan sejarah panjang atas kejatuhan dan keruntuhan kejayaan kerajaan-kerajaan masa lalu atas kesalahan manajemen dan tak ada lagi yang mampu kembali berjaya.
Kalau kacamata negatif terlalu menakutkan dan suram, mari kita bersama menggunakan kacamata positif. Wabah ini segera ditemukan anti virusnya, maka akan mereda dengan sendirinya.
Proses isolasi berjalan efektif dan tidak memakan waktu berlarut, sehingga ekonomi regional dan nasional tidak ditahap runtuh.
Berharap kepada para ilmuwan, para ahli yang menjadi pahlawan atas masa krisis ini. Seperti penemuan-penemuan terdahulu yang mampu meredakan penyakit pes (Black Dead di Eropa), influenza, dan sebagainya.
Berharap juga para para ekonom dan pelaku ekonomi nasional mampu menempuh strategi pemulihan yang jenius sehingga produktivitas nasional menjadi pulih.
Berharap anggaran pemerintah mampu melakukan proses pemulihan kesehatan secara nasional dengan tidak berhutang terlalu banyak. Pun masa ini tetap memakan dana, waktu dan biaya sosial.
Jika kacamata positif yang akan digariskan Tuhan kepada kita, pun masih membutuhkan manajemen yang efektif dan efisien. Yang diatur dan dikelola ini adalah manusia, dengan segala karakter dan pilihan perilaku masing-masing.
Mengais-ngais data sejarah dan budaya Nusantara memberikan manfaat bagi saya untuk berefleksi atas banyak peristiwa di masa lampau dan sebagian berguna bagi kita yang hidup di masa sekarang.
Pulau Bangka berkali-kali menderita akibat wabah penyakit. Cerita Sultan Ratu Mahmud Badarudin I (pada awal abad 18) yang memerintahkan dukun dan pengiringnya membuat obat masyarakat Belinyu yang diserang penyakit menular, wabah penyakit cacar yang menyerang seluruh tanah Bangka pada masa Temenggung Kertamenggala (Abang Ismail), adalah jejak dari peristiwa di masa lalu atas serangan wabah penyakit di Pulau Bangka.
Perkara ke-36; "Pengangkat Tempoh" dalam "Sindang Mardika" adalah aturan yang dibuat dan diberlakukan di seluruh Pulau Bangka. Upaya preventif untuk mencegah penularan semakin meluas, memastikan aturan yang tegas bagi yang melanggarnya dengan denda, dilaksanakan dengan kewenangan yang melekat bagi pemimpin lokal (Batin) pada saat itu.
Upaya preventif bukan satu-satunya solusi, karena penyakit tidak dapat raib dengan sendirinya. Dibutuhkan upaya lain bagi pemulihan (pengobatan terhadap rakyat), yang dicontohkan Sultan dengan mengirimkan dukun (tabib) dengan membawa khasiat obat-obatan dari Palembang (dari pengetahuan atas itu, kemudian masyarakat lokal Bangka menerapkan beberapa ilmu pengobatan tradisional dan mantera seperti pada komunitas adat orang Mapur-Bangka)
Semoga kita dapat melalui masa krisis ini dengan aman. Walaupun jika kita telah melewatinya, saya tidak percaya corona adalah kasus virus terakhir yang menjadi pandemi bagi dunia.
Kembalilah melihat catatan sejarah. Mutasi genetik dari hewan ke manusia sudah terjadi ratusan tahun. Pun ini terjadi akibat ulah manusia sendiri yang rakus terhadap alam, sehingga bakteri dan virus yang dahulu melekat pada hewan bermutasi kepada manusia.
Ingatlah dengan "black death" di Eropa yang menewaskan sepertiga penduduk, ingatlah dengan flu burung, flu babi yang rasanya belum terlalu lama menjadi ketakutan global.
Semakin hari semakin cepat perubahan genetik yang mengikuti teori evolusi, akan menciptakan virus yang semakin kuat (baca: semakin mengancam). Tak ada jalan lain selain manusia juga bersiap dengan segala perubahan dunia.
Dibutuhkan kesadaran dan kecerdasan manusia milenial hari ini untuk menyaring informasi dengan akurat, mendudukkan ilmu dan pengetahuan sebagai cara pandang yang ilmiah untuk menentukan sikap, mengedepankan semangat kerja sama, toleransi dan saling percaya antar sesama dalam melawan ancaman wabah ini.
Pun jika mengingat lagi dengan keluhuran budaya Nusantara, betapa bangsa ini memiliki tradisi turun menurun terkait dengan menjaga stamina kebugaran tubuh sebagai bagian dari cara meningkatkan imunitas jasmani.
Berapa banyak minuman tradisional berkhasiat berbahan baku temulawak, jahe, serai, kencur, dan jenis rempah-rempah lain yang diadopsi menjadi obat stamina di negara lain? Kenapa tidak kita lestarikan lagi?
Mungkin ini saatnya belajar lagi dari sejarah dan budaya lokal, menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada masyarakat kita untuk menguatkan Indonesia yang berjati diri.
Untuk orang Indonesia hari ini. Bagi kelangsungan orang Indonesia nanti. (*Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bangka Barat, Pemerhati budaya lokal. Tinggal di Mentok, Kabupaten Bangka Barat.)
Pewarta: Oleh : Bambang Haryo Suseno, SH., M.Ec.Dev.
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020