"Itu aneh banget, ngapain Rama Superman naik kuda lagi berantem, kenapa enggak terbang aja, kan Superman bisa terbang," ujar musisi yang juga penikmat film B Harlan Boer sambil tertawa saat diwawancara ANTARA pada Senin.
Baca juga: Lima film Indonesia yang lebih dulu terkenal di luar negeri
Film B memang unik. Meski adegan-adegannya kerap dinilai nyeleneh, tapi justru itu yang menjadi daya tarik. Keamatiran film-film itu menjadi alasan Harlan mencintai film B.
Era 70-an hingga 80-an memang menjadi gudangnya film-film lo-fi. Harlan tumbuh dan besar dengan menonton film-film tersebut. Genre kesukaannya adalah cerita-cerita pahlawan super. Banyak sekali film pahlawan-pahlawan super Indonesia yang mencontek karakter-karakter pahlawan super komik-komik yang diadaptasi Hollywood.
Meski pada saat itu banyak juga film-film pendekar yang mengadaptasi komik-komik lokal, seperti Si Buta Dari Gua Hantu, Jaka Sembung dan Si Pitung.
"Sensasi picisan dari film-film itulah yang bikin berbeda. Gue menemukan keotentikan dari film-film itu. Kalau dulu menonton film-film kayak gitu sih masyarakat juga enggak kenal dengan istilah film B. Gue juga ya mikirnya film pasti begitu," kata dia.
Baca juga: Jalan panjang untuk film animasi Indonesia
Kesan yang cukup melekat tentang film B ini pun terus tertancap di benak Harlan. Hingga kini Harlan juga kerap mencari dengan estetika serupa film B. Salah satu paling anyar yang dia tonton "Kurung Manuk" karya Sigit Pradityo dalam format DVD.
Tapi Harlan tak sendiri, banyak penyuka film-film jenis ini berkumpul untuk menggelar nonton bareng.
Kolektif independen Wastedrockers misalnya, lewat gelaran rutin "Layar Tancep Indie", mereka kerap memutar sejumlah film kelas B baik lokal mau pun internasional. Sejak diadakan pertama kali pada 2015, "Layar Tancep Indie" sudah memasuki gelaran ke-23 pada November 2019 lalu.
Dede, salah satu inisiator Wastedrockers, beberapa waktu yang lalu mengatakan film B punya cara sendiri untuk dinikmati. Biasanya penikmat film B menyukai hal-hal berbau low art (seni rendah yang menyenangkan secara estetika namun tidak diproduksi dengan baik karena ditujukan untuk diproduksi banyak dan cepat).
Selain itu penikmat film B juga disebut gemar menggemari kitsch, objek yang miskin cita rasa dan juga miskin kualitas .
Film-film arus utama era 70-an & 80-an yang memiliki estetika rendah menjadi nilai keindahan baru bagi penikmatnya.
Dia berpendapat cara terbaik untuk menikmati film-film tersebut adalah dengan nonton bareng. Alasannya sederhana: "Film B lebih seru kalau ditertawakan bersama".
Sebetulnya film B bukan hal baru...
Baca juga: Nadiem ajak para sineas semakin kreatif dan inovatif
Baca juga: Profesi aktor suara diprediksi akan semakin dibutuhkan
Baca juga: Film remaja ala Fajar Bustomi
Bagi Dede pribadi, film kelas B sebetulnya bukan hal baru. Sejak lama dia sudah hobi menonton film-film tersebut. Salah satu adegan absurd yang dia kenang ada di film "Wild Zero" (Jepang, 1999).
"Ada adegan si pemeran utama sedang melawan zombie tapi kemudian di akhir film muncul UFO. Dan untuk ngancurin UFO-nya pakai pedang samurai. Itu kan absurd banget," kata Dede.
Layar Tancep Indie memang tak melulu memutar film kelas B. Kadang kala mereka memutar film dokumenter atau sekadar video musik dari sejumlah band-band indie. Kendati demikian, film B menjadi salah satu daftar putar yang diakui punya peminat.
"Awalnya memang sedikit yang nonton, tapi lama-lama bertambah, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak muda," kata Dede.
Namun, ketertarikan anak muda pada film ini bisa dibilang belum lama. Dia menduga ini dipicu oleh eksperimen sineas-sineas muda yang berani menggarap filmnya dengan estetika amatir khas film B.
Tapi film B kini sedang tren lagi...
Baca juga: Ucapan Hari Film Nasional dari sineas tanah air
Baca juga: Rayakan Hari Film Nasional, saksikan 10 rekomendasi film Indonesia
Baca juga: Mengenal Film 'B' dan melihat jejaknya di Indonesia
Kembali digemari
Kritikus Ekky Iman Jaya, pada ANTARA belum lama ini mengatakan kembali digemarinya film-film era 80-an terutama film B menjadikan film-film itu kultus, cult. Syaratnya, film memiliki penggemar fanatik untuk merayakan film itu berkali-kali, menonton berulang-ulang, dan mengambil kutipan-kutipan dari film tersebut.
Dia menilai film-film 80-an itu "so bad it's good" atau sangking buruknya jadi terlihat keren. Meski penonton sadar film-film tersebut kualitasnya tidak baik, tetapi tetap mengandung nilai estetika tersendiri.
Meski demikian, dia tak memungkiri memang ada penonton yang memilih film-film itu hanya untuk mencari hiburan semata.
"Memang ada yang menonton hanya untuk menetertawakaan tetapi itu pun mereka masih terpesona dengan film tersebut," kata Ekky.
Selain itu menonton film B bagi generasi muda juga menjadi subkultur dan menjadi bagian dari identitas diri. Mereka bangga bisa menikmati film-film yang aneh dan eksklusif.
Sementara itu bagi angkatan yang tumbuh dan besar dengan film-film di era 80-an, memutar kembali film jenis ini adalah bentuk kerinduan pada masa lalu. Sama halnya dengan kembali lakunya piringan hitam atau gaya bermusik lama yang diperbincangkan lagi.
Pengamat film Ivan Makhsara mengamati kesukaan anak muda terhadap film B dipancing oleh kultur meme yang ramai di media sosial. Menurut dia film-film yang ditonton oleh generasi ini adalah film-film pendek yang dibuat pada zaman sekarang.
"Misalnya kita tonton iklan-iklan Dimas Djay yang absurd, itu konsepnya film B. Tapi yang memakai konsep iklan itu merek-merek terkemuka. Jadi ya kalau pun sekarang banyak orang yang menonton film B itu karena didorong oleh kultur meme," kata dia.
Menurut Ivan menikmati Film B itu sangat sederhana, yaitu dengan menonton filmnya dan tidak menanggapi film tersebut secara serius.
"Ya ditonton dan jangan dianggap serius, kecuali memang serius menyukai hal semacam ini. Kan ada juga orang yang memang sukanya hal-hal absurd, kata dia. Filmnya juga enggak serius kok, ngapain kita serius, haha," kata dia.
Baca juga: 10 film besar Indonesia yang tak tembus 1 juta penonton
Baca juga: Jelang Hari Film, ini enam bintang muda paling bersinar
Baca juga: Lebih asyik mana, bikin film anggaran besar atau produksi lama?
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020