Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai kebijakan perpajakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 sudah cukup responsif untuk mengantisipasi dampak pandemi COVID-19.Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak
"Khusus untuk bidang perpajakan, menurut saya sudah cukup responsif. Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh badan diturunkan menjadi 22 persen untuk tahun pajak 2020. Pemajakan atas kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik atau PMSE, baik PPN maupun PPh, juga cukup beralasan, baik dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi," ujar Yustinus dalam keterangan resmi yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Teken Perppu, Presiden tambah APBN 2020 Rp405,1 triliun atasi COVID-19
Kendati demikian, lanjutnya, di tataran implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif, dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD yang akan dituntaskan.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu, perpanjangan jangka waktu permohonan atau penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi fiskus maupun wajib pajak (WP).
Hal tersebut akan mendukung kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), mengurangi risiko penularan COVID-19, memberi kelonggaran, dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan.
"Tinggal dalam implementasinya lebih luwes, menyesuaikan masa tanggap darurat pemerintah dan kesesuaian dengan indikator kinerja utama atau IKU. Pengaturan WFH juga perlu diselaraskan dan dimodifikasi, agar tepat sasaran dan tujuan, termasuk memikirkan aspek keselamatan pegawai," ujar Yustinus.
Hal penting lainnya adalah komitmen pemerintah mengevaluasi insentif yang telah diberikan dan akan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan.
Ia memuji kemauan pemerintah mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak. "Sejak awal, saya pun cukup keras dan nyaring mendorong perluasan insentif ini," katanya.
Tentu, lanjut Yustinus, ini kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan atau penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cashflow perusahaan dan individu. "Hal konkret yang di depan mata menjadi ancaman survival," katanya.
Tak hanya itu, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat kebijakan terkait fasilitas kepabeanan, khususnya terhadap impor barang-barang yang dibutuhkan untuk penanganan COVID-19, akan jadi terobosan penting di tengah rumitnya regulasi impor dan tumpang tindih kewenangan di lapangan.
Kebijakan tersebut diracik dengan upaya Kementerian Perekonomian melakukan orkestrasi kebijakan sektoral yang partisipatoris akan berdampak positif bagi upaya penanganan COVID-19.
Misalnya, percepatan produksi ventilator, kasur rumah sakit, masker, APD, dan lainnya.
Menurutnya, tarian insentif-disinsentif akan amat penting dan berguna jika dimainkan dengan lihai.
"Kebijakan perpajakan ini akan memiliki makna yang banyak, terlebih jika dikawinkan dan beresonansi dengan kebijakan lain yang saling dukung. Relaksasi kredit, social safety nett, kebijakan moneter yang kokoh, dan lainnya," ujar Yustinus.
Sementara itu, secara umum, Perppu 1 Tahun 2020 yang baru saja terbit, menurut dia, sangat bagus, cukup komprehensif, holistik, fokus, dan terukur.
Perppu tersebut sangat jelas dan kuat menunjukkan respons cepat dan tepat atas situasi dan kondisi yang darurat dan luar biasa.
Perppu tersebut, termasuk konferensi pers bersama antara otoritas fiskal dan otoritas moneter Rabu pagi ini, menunjukkan kemampuan berkoordinasi dan bersinergi yang bagus.
"Ke depan, ini jadi model yang perlu diduplikasi dengan cepat ke semua sektor. Lugasnya, perppu ini menunjukkan semangat dan komitmen untuk mengatasi persoalan yang luar biasa berat, dengan cara luar biasa. Sinyal bahwa pemerintah memahami persoalan dan punya langkah antisipasi yang terukur inilah yang dibutuhkan publik dan pasar," kata Yustinus.
Meskipun begitu, lanjutnya, tentu saja kebijakan tersebut perlu aturan turunan yang detail dan implementasi yang konsisten dan efektif di lapangan.
Ia menilai pandemi COVID-19 ternyata membangun daya imajinasi dan melahirkan kreativitas baru tentang tata kelola pemerintahan.
Beberapa pokok gagasan yang penting dalam perppu tersebut adalah pelebaran defisit untuk mengantisipasi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar, penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran, penambahan pengeluaran, penggunaan dari SAL dan sumber lain yang dimiliki negara, menerbitkan surat utang negara (SUN), menetapkan sumber pembiayaan lain, memberikan pinjaman kepada LPS, melakukan refocussing/realokasi/pemotongan/penundaan anggaran tertentu, dan penyederhanaan mekanisme.
Baca juga: Presiden Jokowi: Relaksasi defisit APBN dibutuhkan sampai 2022
Baca juga: Presiden harapkan dukungan DPR untuk Perppu Kebijakan Keuangan
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020