Demikian disampaikan Koordinator Jaringan Kerja Penyalamat Hutan Riau (Jikalahari), Susanto Kurniawan disela workshop penyusunan strategi pengelolaan bersama ekosistem hutan rawa gambut Semenanjung Kampar, di Pekanbaru, Selasa.
Menurut Susanto, hutan rawa gambut Semenanjung Kampar luasnya mencapai 682.511 hektar tersebar di Kabupaten Siak dan Pelalawan. Sekitar 41 persen atau 284.880 hektar di antaranya ditetapkan untuk hutan tanaman industri (HTI).
Kemudian 35 persen atau 245.120 hektar lainnya diserahkan untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 24 persen atau 170.000 hektar lagi untuk perkebunanan kelapa sawit, dan sedikit untuk suaka margasatwa.
"Perlu ada komitmen perumusan bersama untuk penyelamatan semenanjung kampar sebagai tindak lanjut kesepahaman pada parelel event COP XIII dimana Jikalahari bersama pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten Siak dan Pelalawan berkomitmen bersama menyelamatkan Semenanjung Kampar," katanya.
Berdasarkan data Weatland internasional, Riau memiliki luas lahan gambut terbesar kedua setelah Papua yaitu sebesar 3,836 juta hektar atau 17 persen dari luas total lahan gambut di Indonesia.
Keistimewaan hutan rawa gambut di Riau adalah memiliki kedalaman mencapai 10 meter, seperti di Semenanjung Kampar membentuk kubah besar di dalam tanah, berfungsi menyimpan kandungan karbon terbesar di Indonesia.
Ia menyayangkan, diberikannya ijin konsesi hutan tanaman industri di Semenanjung Kampar yang sebagian besar dikuasai APRIL dan APP (Asia Pulp Paper) serta konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit.
"Ini mengancam total 700 ribu hektar gambut di Semenanjung Kampar," ujarnya.
Dampak dari kebijakan tersebut, telah menyebabkan berbagai kerugian bagi keseimbangan ekosistem juga manusia seperti kebakaran hutan, banjir dan pemanasan global.
"Karenanya saat ini sangat mendesak, agar semua pihak segera melindungi kawasan gambut. Sebab di Semenanjung Kampar terdapat kekayaan ekologi, budaya dan ekonomi masyarakat," katanya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Hariansyah Usman, mengatakan, penyelamatan hutan rawa gambut harus dalam kerangka pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Masyarakat harus menjadi aktor utama pengelolaan hutan, bukan sekadar melibatkan masyarakat.
Sepanjang tiga dasawarsa pengelolaan hutan, paradigma yang dipakai adalah mengedepankan kekuasaan negara yang memandang hutan sebagai unit ekonomi bagi keuntungan jangka pendek, berorientasi pasar ekspor dan hanya berbasis pada produksi kayu.
"Perlu ada perubahan paradigma dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Itu jauh lebih dalam maknanya dari sekadar mewujudkan penyediaan hasil hutan bagi masyarakat. Masyarakat harus menjadi faktor utama sebagai pengelola hutan yang diusahakan pada lahan milik dan lahan negara," kata Hariansyah.
Workshop pengelolaan hutan rawa gambut dihadiri perwakilan dari pemerintah pusat, Provinsi Riau, Kabupaten Pelalawan dan Siak, akademisi, sejumlah LSM serta masyarakat desa.
Acara ini juga kerjasama dengan Walhi Riau, Pemerintah Kabupaten Siak, Pelalawan dan Provinsi Riau serta didukung Siemenpuu, WWF dan Global Environment Center dan Kemitraan Indonesia.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009