Rumah sakit kehabisan obat-obatan yang sebagian besar digunakan dalam unit layanan intensif (ICU), termasuk anestesi tertentu, antibiotik dan pelemas otot, serta obat-obatan yang digunakan di luar label untuk COVID-19.
Krisis obat telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan, namun merebaknya virus corona baru-baru ini memperparah situasi.
Industri farmasi dan rumah sakit sedang berupaya mengimbangi permintaan akibat penutupan perbatasan dan larangan ekspor serta karantina wilayah pabrik lokal.
Otoritas, rumah sakit dan individu juga cenderung menimbun obat-obatan penting, sehingga menghambat fasilitas layanan kesehatan lain melayani lonjakan jumlah pasien.
Untuk mencegah krisis obat yang digunakan dalam pengobatan COVID-19, Badan Medis Eropa ditugaskan untuk memperkenalkan sistem peringatan dini baru.
Di satu sisi, badan Uni Eropa perlu menghimpun dan menganalis informasi pasokan dari otoritas nasional.
Di sisi lain, pabrik farmasi juga harus memberitahu kelompok pengarah badan tersebut mengenai krisis di masa depan berdasarkan aturan baru. Sampai saat ini, industri hanya berkewajiban menginformasikan otoritas nasional soal krisis mendatang.
Badan Uni Eropa juga berjanji untuk mempercepat prosedur pengaturan metode manufaktur baru di industri obat-obatan.
Sejak muncul di Wuhan, China tengah, pada Desember lalu virus corona telah menyebar ke sedikitnya 184 negara dan wilayah.
Data yang dihimpun oleh Johns Hopkins University AS menunjukkan infeksi COVID-19 melampaui 1,39 juta orang dengan lebih dari 79.000 kematian. Sementara itu, hampir 295.700 orang dinyatakan sembuh dari penyakit tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Perusahaan obat andalkan sistem order digital saat pandemi COVID-19
Baca juga: 74 negara terlibat dalam upaya menemukan obat COVID-19
Baca juga: Peneliti Monash University temukan obat potensial lawan COVID-19
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020