• Beranda
  • Berita
  • Ketika Gereja tak berkidung dan Masjid tak berkhutbah di tengah wabah

Ketika Gereja tak berkidung dan Masjid tak berkhutbah di tengah wabah

11 April 2020 16:23 WIB
Ketika Gereja tak berkidung dan Masjid tak berkhutbah di tengah wabah
Susanti atau Kim San (69) mengikuti Misa Jumat Agung dari Gereja Katedral Jakarta yang disiarkan televisi swasta di kamar rumahnya, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2020). ANTARA/Laily Rahmawaty/am.

Sejak pandemi corona merebak di Jakarta, pengurus masjid maupun gereja mematuhi kebijakan pemerintah dengan mengajak umatnya beribadah dari rumah

Menjelang magrib pukul 16.45 WIB, Jumat itu Susanti (69) sumringah dengan muka  cerah, dan senyum tipis mengulas di bibirnya membuatnya tampak bahagia dari biasanya setelah keluar dari kamarnya.

Wanita bertubuh mungil itu mengenakan baju kaos Pollo berwarna biru muda tampak kontras dengan celana batik selutut. Wajahnya disapu riasan bedak tipis dan lipstik merah jambu.

Dandanan yang tidak biasa untuk sehari-hari di rumah saja, biasanya dia hanya dasteran saja. Ternyata ibu satu anak itu baru saja selesai mengikuti Misa.

"Puji Tuhan, saya bisa ikut Misa hari ini, walau cuma dari televisi, tapi saya senang bisa ibadah," ucap wanita itu dengan wajah berbinar, saat ditemui di tempat tinggalnya Gang Kelinci, Pasar Baru, Jakarta Pusat Jumat.

Satu jam sebelumnya, pukul 15.00 WIB, dari bilik kamar wanita keturunan Tionghoa itu terdengar sayup-sayup kidung doa yang dilantunkan dari layar televisi berukuran 14 inci, beberapa menit kemudian suara Uskup Agung menyampaikan pesan Misa Jumat Agung peringatan Wafatnya Isa Almasih.

Pagi hari sebelumnya, Susanti telah memberitahukan bahwa dirinya akan mengikuti Misa Jumat Agung dari televisi dan minta maaf kepada penghuni lainnya yang mayoritas Muslim, jika suara televisinya terdengar sampai keluar kamar.

Tahun-tahun sebelumnya, wanita yang memiliki nama Tionghoa Kim San itu selalu mengikuti misa di Gereja Katedral Jakarta, selalu mengambil waktu ibadah pukul 15.00 WIB. Tradisi itu sudah berlangsung selama 15 tahun sejak ia menetap di Gang Kalinci.

"Setiap tahun saya selalu ikut Misa yang sore jam 15.00 WIB, karena lebih senang saja suasananya," kata Susanti.

Bedanya tahun ini, Susanti hanya bisa mengikuti Misa dari televisi yang disiarkan oleh salah satu televisi swasta nasional, sudah tiga pekan ini dia tidak bisa beribadah di Gereja.

Jumat Agung

Untuk dua kali Susanti mengikuti Misa dari televisi, sebelumnya misa Kamis putih, dan hari ini Jumat agung.

Tidak hanya tempat yang berbeda, waktu ibadah misa pun berubah pula. Biasanya di gereja, misa berlangsung selama dua jam, kini misa dipersingkat menjadi satu jam dan hanya bisa diikuti dari televisi ataupun dari media streaming menggunakan internet.

Susanti memaklumi hal itu, karena sudah mengetahui peraturan dari pemerintah yang membatasi umat beribadah di gereja dan jika pun beribadah di gereja maka waktunya harus dipersingkat tidak bisa lagi berlama-lama.

Semua itu dilakukan hanya untuk mencegah penularan virus corona jenis baru SARS-CoV-2 atau dinamai COVID-19, karena tempat ibadah menjadi salah satu tempat penularan potensial.

"Saya juga enggak berani ke gereja, takut kenapa-kenapa apalagi saya juga sudah tua, pemerintah kan sudah larang, gereja juga kasih tau begitu, jadi kita ikutin aja," kata Susanti.

Dua pekan sebelumnya, raut muka Susanti tak sebahagia hari ini. Rutinitasnya berubah sejak di rumah aja. Pekerjaan menjahit yang menjadi profesinya terpaksa berhenti sementara karena tidak ada pesanan, begitu juga rutinitas ke gereja setiap Sabtu dan Minggu ditunda.

Namun, Susanti tetap berupaya di rumah saja, sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan status tanggap darurat COVID-19, meminta seluruh warga beribadah dari rumah, bekerja dari rumah, dan sekolah dari rumah.

Aturan itu dimulai terhitung sejak tanggal 14 Maret, seluruh warga mengunci diri di rumah, demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19 yang hingga Jumat pukul 10.00 WIB jumlahnya ada 1.810 orang positif, 1.139 orang dirawat, 433 orang menjalani isolasi mandiri, 156 orang meninggal dunia dan 82 orang sembuh dari corona SARS-CoV-2.

Menjelang Misa Jumat Agung berakhir, Susanti yang duduk bersandar dari atas tempat tidurnya menghadap televisi ikut mengaminkan doa yang dipimpin oleh Uskup Agung Haryono dari Gereja Katedral Jakarta, dengan menggenggam Alkitab bersampul hitam dan buku panduan doa Misa tahun 2020 di kedua telapak tangannya.

Misa yang tak biasa, doa yang disampaikan terasa istimewa, Uskup Agung Haryono mengajak jemaat Katolik mendoakan bangsa Indonesia agar selalu dilindungi Tuhan Yang Maha Esa, meminta agar wabah tersebut segera berakhir dan mendoakan Indonesia kembali normal sehingga pekerja dapat kembali mendapatkan penghasilan.

"Harapan saya, supaya corona ini cepat berlalu dan semua orang sehat amin Tuhan," kata Susanti mengamini doanya.
 
Mega atau Ming Chu mengikuti Misa Jumat Agung GKI Samanhudi secara streaming melalui laptop rumahnya, Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2020). ANTARA/Laily Rahmawaty/am.
Ibadah di rumah

Susanti tidak sendiri merayakan Hari Paskah, Mega (73) si induk semang pemilik kontrakan juga mengikuti Ibadah Misa dari siaran steaming yang diputar melalui laptop milik putri.

Tak tanggung-tanggu, agar lebih khusyuk mendengarkan Misa Jumat Agung dari Gereja GKI Samanhudi pukul 18.35 WIB, sang putri menambahkan pengeras suara portabel, agar ibunya yang sudah lansia dapat mendengar dengan jelas Firman Ilahi yang dibacakan oleh Pastur Frida Situmorang.

"Aduh maaf saya lagi ibadah jadi kurang mendengar panggilan," jawab Mega setelah dicolek salah seorang penghuni kontrakan yang ingin menyerahkan uang sewa.

Suara kidung doa itu menggema di lantai dasar rumahnya dan terdengar sayup-sayup hingga ke lantai dua.

Tak perlu berdandan rapi, Mega yang memiliki nama Tionghoa Ming Chu itu hanya menggenakan atasan baju model 1960 an warna pasta dan celana pendek yang sehari-hari dikenakan di rumah.

Biasanya Mega tak berkacamata, tapi selama mengikuti misa dari layar monitor laptop, kacamata plus itu bertengger di wajahnya dan rambutnya ditata sedikit rapi dari biasanya.

Cukup hanya duduk di kursi meja makan matanya fokus tertuju ke layar Laptop yang terletak di atas meja bersama piring-piring berisi hidangan makan malam.

Ada ikan, dadar telor, sayur bening dan nasi yang masih utuh belum disentuh olehnya dan anggota keluarga.

"Saya ibadah dulu, hari ini misa dari GKI Samanhudi bisa disaksikan di internet," kata Mega yang kembali fokus ke Laptop mengabaikan hidangan makan malam mulai tampak dingin di meja.

Baca juga: Ibadah massal Kristiani & Budha diimbau ditunda terkait COVID-19

Baca juga: Misa di Katedral Jakarta bisa diikuti melalui "live streaming"

Baca juga: Kemenag: Selama puasa laksanakan ibadah di rumah

Baca juga: Peringatan Jumat Agung dari rumah, diapresiasi pemerintah

 
Jamaah laki-laki menggelar shalat Dzuhur berjamaah di Masjid Jami' Al Munawwar, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (20/3/2020). ANTARA/Laily Rahmawaty/am.
Shalat Jumat berganti Dzuhur

Sejak usia 16 tahun Ma'mum Alayubi sudah menjadi Khotib, tidak pernah meninggalkan Shalat Jumat, berat hatinya meniadakan ibadah wajib di masjid.

Tapi sejak tiga pekan ini, sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi DKI Jakarta, Ma'mun menyerukan seluruh masjid di Ibu Kota meniadakan Shalat Jumat sementara waktu, dengan mengganti shalat wajib bagi kaum laki-laki itu menjadi Shalat Dzuhur dari rumah.

Seruan itu merujuk kepada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2020 tanggal 21 Rajab 1441 Hijriah/ 16 Maret 2020 Masehi tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19.

Lalu Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2020 tentang Peniadaaan Sementara Kegiatan Peribadatan dan Keagamaan di Rumah Ibadah Dalam Rangka Mencegah Penyebaran Wabah Corona Virus Disease (COVID-19).

Termasuk juga Maklumat Kapolri No.: Mak/2/III/2020 tertanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (COVID-19).

"Kalau diukur begitu sedih, tapi kondisi darurat ini tidak boleh disampingkan," kata Ma'mun.

Awalnya DMI menyerukan peniadaan Shalat Jumat pada tanggal 20 Maret dan 27 Maret. Lalu seruan itu diperpanjang lagi terhitung mulai 3 April 2020 sampai batas waktu yang tidak ditentukan melihat situasi terkini dan seruan pemerintah.

Seruan ini tak memiliki sanksi hukum, tapi berpegang pada seruan pemerintah yang tidak main-main, menunjuk pada situasi DKI Jakarta memang sudah darurat COVID-19.

Memang sangat terpaksa bagi masjid-masjid yang sulit meliburkan ibadah wajib. Tapi DMI mengingatkan, agar masjid menerapkan protokol kesehatan jika tak bisa meninggalkan ibadah.

Protokol kesehatan seperti membersihkan masjid secara rutin, disemprot disinfektan, menjaga jarak, tidak bersalaman, membawa sajadah sendiri dan tidak berlama-lama berkegiatan di rumah ibadah.

Masjid tetap boleh mengumandangkan Adzan setiap waktu shalat, tapi diakhir azan diserukan untuk beribadah di rumah masing-masing, "al-salatu fi buyutikum" (shalatlah di rumah kalian).

Memang shalat di masjid lebih utama mendapatkan imbalan pahala berlipat ganda 27 derajat dibandingkan ibadah dari rumah.

Namun, banyak dalil yang bisa jadi rujukan kalau hanya ingin mendapatkan pahala yang besar lalu muncul kemudaratan yang tinggi.

Salah satunya, tertuang dalam Alquran Surah Albaqara ayat 195 yang artinya "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

"Menolak kerusakan diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan," kata Ma'mun.

Ma'mun berharap, 3.700 masjid yang ada DKI Jakarta, 6.000 mushola dan sekitar 100 masjid kantor di bawah pengawasan DMI dapat mematuhi seruan ini.

"Corona datang bukanlah kebetulan, mendidik kita untuk jadi sadar.
Anak dan istri, jabatan, kekayaan
Semua itu bukan milik kita...
Tulis Bimbo dalam lirik lagu terbarunya tentang Corona.

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020