Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia memprediksikan akan ada peningkatan dalam jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II 2020 melalui tiga skenario yaitu ringan, sedang, dan berat.Dampak pandemi COVID- 19 akan berbeda untuk masing-masing lapangan usaha
Ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto mengatakan pandemi COVID-19 yang terus mengalami eskalasi di Indonesia menjadi faktor pada potensi meningkatnya jumlah pengangguran dalam skala besar.
“Dalam beberapa pekan terakhir gelombang PHK semakin merebak di sejumlah sektor seperti manufaktur, pariwisata, transportasi, perdagangan, konstruksi, dan lain-lain,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Skenario ringan tersebut adalah potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka secara nasional mencapai 4,25 juta orang atau meningkat 8,2 persen yang terutama terjadi di Jawa sebanyak 3,4 juta orang.
Skenario ringan itu berdasarkan asumsi penyebaran COVID-19 semakin luas pada Mei 2020 tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di Jawa dan satu atau dua kota di luar Jawa.
Skenario sedangnya adalah akan ada potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,68 juta orang atau meningkat 9,79 persen terutama terjadi di Jawa mencapai 5,06 juta orang.
Skenario sedang dibangun dengan asumsi penyebaran COVID-19 lebih meluas dan kebijakan PSBB diberlakukan di banyak wilayah di Jawa dan beberapa kota di luar Jawa.
Skenario beratnya adalah akan ada potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 9,35 juta orang atau meningkat 11,47 persen dengan 6,94 juta orang dari Jawa.
Skenario berat didasarkan pada asumsi penyebaran COVID-19 telah tak terbendung dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas baik di Jawa maupun luar Jawa dengan standar yang sangat ketat.
Akbar menyebutkan status pekerjaan yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah pekerja lepas, pengusaha berskala mikro, pengusaha dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar, dan pekerja keluarga atau tak dibayar.
Dalam hal ini, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah penyedia akomodasi, transportasi, makanan dan minuman, pergudangan serta perdagangan baik berskala besar maupun eceran.
Sebaliknya, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling ringan adalah jasa kesehatan, kegiatan sosial, jasa administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib.
“Pasalnya daya tahan ekonomi pekerja di sektor informal relatif rapuh terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal,” katanya.
Jumlah pekerja sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja dengan mayoritas bekerja pada usaha skala mikro.
Sementara jika dilihat dari sisi wilayah diasumsikan bahwa DKI Jakarta akan mengalami dampak paling parah, kemudian Jawa Barat, dan provinsi lain di Jawa dengan perkiraan dampak pandemi COVID-19 lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan.
“Dampak pandemi COVID- 19 akan berbeda untuk masing-masing lapangan usaha, status pekerjaan, serta wilayah baik dilihat dari lokasi provinsi maupun kota dan desa,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah siapkan langkah atasi pengangguran akibat COVID-19
Baca juga: Moeldoko tegaskan Kartu Pra-Kerja bukan untuk gaji pengangguran
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020