Seketika, daerah terdampak gempa porak-poranda dihantam gempa 7,4 SR pada Jum'at petang itu, yang membuat permukiman warga luluh lantak.
Bangunan gedung hancur, pohon-pohon tumbang ditelan bumi, karena tanah retak dan terbelah seakan membentuk jurang, ketika gempa dahsyat diikutkan dengan pergeseran tanah (likuefaksi) yang menenggelamkan.
Saat dua bencana itu melanda kehidupan manusia, yang terdengar hanyalah jeritan tangis dan minta tolong sembari menyebut Asma Allah.
Begitu juga dengan daerah pesisir pantai yang terdampak gempa dahsyat dan tsunami. Seketika manusia berlarian/berhamburan mencari tempat tinggi, agar bisa terhindari dari bahaya itu.
Hari itu, menjadi pengingat atas adanya bencana besar dan hari kiamat.
Berdasarkan data Pusdatina Sulteng tanggal 7 Januari 2019, serta merujuk pada SK Gubernur Sulteng Nomor 360/006/BPBD-G.ST/2019 bahwa korban meninggal dunia yang dimakamkan keluarganya berjumlah 2.657 jiwa.
Kemudian warga yang meninggal dunia, namun tidak teridentifikasi berjumlah 1.016 jiwa. Mereka dimakamkan secara massal di Pantoloan 35 jiwa dan pemakaman umum di Poboya 981 jiwa, sehingga total meninggal dunia mencapai 3.673 orang.
Selanjutnya, warga yang dinyatakan hilang 667 jiwa, dengan demikian warga yang hilang dan meninggal dunia berjumlah 4.340 jiwa.
Bencana besar 28 September 2018 lalu, berdasarkan data Pusdatina Sulteng menyebabkan pengungsian yang tersebar di 400 titik dengan jumlah 53.182 kepala keluarga atau 172.635 jiwa.
Data Pusdatina juga menyebut terdapat 40.085 rumah warga rusak ringan, 26.122 rusak sedang, 29.771 rusak berat dan 4.050 rumah hilang.
Kini bencana besar itu telah berlalu. Tak terasa, penyintas bencana di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong yang beragama Islam saat ini menjalani puasa Ramadhan yang kedua kalinya di tenda-tenda pengungsian dan hunian sementara (huntara).
"Tahun 2020 adalah tahun kedua setelah gempa, tsunami dan likuefaksi melanda Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Penyintas masih berada di tenda dan di huntara," kata Anggota DPRD Sulteng Ibrahim Hafid.
Pemerintah menjanjikan pemulihan secepat-cepatnya setelah bencana itu melanda daerah tersebut. Bahkan, pemerintah pusat menyatakan bahwa sebelum Tahun 2020, penyintas sudah harus menempati hunian tetap yang permanen.
Fakta di lapangan tidak menunjukkan demikian. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka penyintas masih berada di tenda dan bilik hunian sementara.
Bukan karena mereka bertahan, bukan itu. Tetapi tempat tinggal yang layak, yang permanen, yang ditempati selama-lamanya dengan keluarga, seperti yang dijanjikan oleh pemerintah belum ada.
Olehnya, Ibrahim Hafid yang merupakan Ketua Fraksi NasDem di DPRD Sulteng menegaskan dua kali Ramadhan, penyintas bencana 28 September 2018 masih tinggal di hunian sementara, bahkan ada yang di tenda-tenda pengungsian. Hal ini menjadi pukulan bagi pemerintah di Sulteng atas kurang tanggapnya dan lambannya dalam melakukan pemulihan.
Baca juga: PUPR targetkan hunian tetap pascagempa di Sulteng selesai Mei
Baca juga: Gubernur : Huntap untuk penyintas bencana Sulteng harus tahan gempa
Ancaman corona
Belum selesai masalah hunian tetap, penyintas yang tinggal di tenda dan bilik hunian sementara juga harus berhadapan dengan virus corona jenis baru penyebab COVID-19.
Ibrahim Hafid mengemukakan penyintas bencana alam 28 September 2018 yang tinggal di tenda dan bilik hunian sementara rentan terpapar.
"Sampai kapan mereka harus menjalani hari-hari dengan kesulitan ini," tanya Ibrahim kepada Pemerintah Sulteng.
Sekjen Pasigala Center, Sulawesi Tengah, M.Khadafi Badherey mengemukakan pandemi COVID-19 yang mengancam keselamatan masyarakat termasuk penyintas yang berada dalam kondisi terpuruk.
Pasigala Centre menyarankan kepada pihak penegak hukum untuk memantau bahkan perlu memeriksa kegiatan lapangan dan laporan hasil kerja pemerintah daerah. Utamanya berkaitan dengan keterlambatan pemenuhan hak korban di semua aspek.
Dua kali Ramadhan, dua kali Idul Fitri, kata dia, penyintas masih belum mendapat kepastian kapan mereka akan pindah ke hunian tetap, seperti komitmen Presiden sebelum Ramadhan tahun 2020 para penyintas telah tinggal di hunian tetap (huntap).
"Sepertinya janji Presiden hanya isapan jempol belaka, khususnya bagi penyintas yang masuk dalam data penerima huntap relokasi. Begitu juga korban penerima dana stimulan yang belum mendapat kepastian akan hak untuk membangun dan merenovaai huniannya yang rusak akibat gempa," katanya.
Ia menilai pemerintah daerah telah gagal memenuhi komitmen Pemerintah Pusat yang kewenangannya telah diberikan kepada pemerintah provinsi dan tiga kabupaten/kota terdampak.
"Kami menganggap pemerintah daerah gagal melakukan percepatan pemenuhan hak korban, ini bisa dilihat dari minimnya keseriusan Pemprov Sulteng dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengalokasikan APBD untuk memprioritaskan korban/penyintas dari pada proyek infrastruktur (beton) perkantoran dan lainnya," ujarnya.
Ketua Komisi Kesra DPRD Kota Palu, Mutmainah menyatakan pemerintah di Palu berkewajiban untuk melindungi masyarakatnya agar terhindari dari ancaman COVID-19.
"Dalam situasi tanggap darurat bencana non-alam ini, juga harus melihat bagaimana kelompok rentan utamanya bagi perempuan dan anak, dan kelompok rentan di pengungsian harus menjadi perhatian khusus berdasarkan pada pengarusutamaan gender dalam pembangunan dan UU Perlindungan Anak," ucap Mutmainah.
Apalagi, kata dia, Kota Palu yang baru setahun lebih tertimpa bencana gempa, tsunami dan likuefaksi. Kondisi kelompok rentan yang berada di shelter pengungsian di hunian sementara semakin memprihatinkan.
Hal itu karena mereka tidak bisa menjaga jarak fisik yang aman (physical distancing). Huntara tidak mempunyai sekat/bilik/keluarga dan sangat kecil.
Terkait hal itu, Direktur Pelaksana Sikola Mombine Risnawati mengatakan jaga jarak fisik menjadi suatu keharusan dalam upaya mencegah dan memutus rantai penyebaran COVID-19.
Sulit menjaga jarak aman di huntara yang hanya berukuran 4 X 6 meter dan berbatasan dinding.
"Tentunya sangat sulit dan memposisikan para penyintas, khususnya perempuan lebih rentan terpapar," ujarnya.
Baca juga: ACT latih penyintas bencana Sigi membuat makanan olahan cokelat
Baca juga: Perempuan penyintas bencana Sigi dilatih ACT buat makanan dari cokelat
Huntap dan stimulan
Salah satu ukuran dan indikator penilaian pemulihan adalah tempati tinggal yang layak.
Ibrahim Hafid mendesak agar pemerintah Sulteng mempercepat pembangunan hunian tetap (huntap).
Ia juga Ia juga mendesak agar pemerintah segera merealisasikan atau mencairkan stimulan untuk rumah rusak berat, sedang dan ringan.
"Dana ini sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat lewat Kementerian Keuangan sejak tahun 2019 dan sekarang sudah ada di kas daerah terdampak bencana," katanya.
Penyaluran dan pencairan dana stimulan tahap dua ini masih rendah, terutama Kota Palu baru mencapai sekitar 18,81 persen, di Kabupaten Sigi 39,80 persen, Parigi Moutong 43,63 persen dan Donggala 58,47 persen.
Padahal Kementerian Keuangan telah menandatangani dan memberikan dana hibah senilai Rp1,9 triliun yang diserahkan kepada Wali Kota Palu, Bupati Donggala, Sigi dan Parigi Moutong pada Oktober 2019.
Peruntukkan dana hibah tersebut bagi keluarga yang rumahnya mengalami kerusakan berat, sedang, hingga ringan, masing-masing akan mendapatkan uang bantuan senilai Rp50 juta, Rp25 juta, dan Rp10 juta.
Terkait stimulan, Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng M Hidayat Lamakarate mengatakan penyaluran dan pencairan dana stimulan tahap dua ini masih rendah, terutama Kota Palu baru mencapai sekitar 18,81 persen.
"Sampai saat ini masih banyak masyarakat bertanya kapada kami, kapan sebenarnya dana ini secepatnya bisa disalurkan," ujar Hidayat Lamakarate.
Ia mengatakan persentase penyaluran dana stimulan tahap dua di Kota Palu paling rendah atau baru terealisir 18,81 persen karena menyangkut data penerima.
"Masih rendahnya penyaluran dan pencairan dana stimulan tahap dua di Kota Palu harus menjadi catatan dan perhatian dari BPBD Palu," ujarnya.
Ia menyampaikan bahwa dana stimulan sesungguhnya sudah tersedia di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) masing-masing kabupaten/kota.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah saat ini berdasarkan keterangan dari pihak Budha Tzu Chi bahwa pembangunan hunian tetap untuk korban gempa, tsunami dan likuefaksi tetap berlangsung.
Yayasan Budha Tzu Chi menyebut pembangunan hunian tetap bagi penyintas bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, tetap berjalan seperti biasa.
"Pembangunan huntap tetap berjalan, namun kami mengalami kendala berkaitan dengan adanya penyebaran COVID-19," ucap eksternal relation and partnetship Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia, Andry.
Yayasan Budha Tzu Chi mengalami kendala dalam pengiriman bahan kebutuhan pembangunan huntap berkaitan dengan adanya pandemi COVID-19. Walaupun demikian, Budha Tzu Chi merencanakan pada Mei sebelum Idul Fitri, penyintas di Kota Palu telah dapat menempati hunian itu.
"Rencana ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi," katanya. Budha Tzu Chi mengedepankan kesehatan dan keselamatan kerja karyawan, karena itu buruh juga diberikan APD berupa masker sebanyak 2.000 buah.
Selain itu, Budha Tzu Chi juga menyediakan dua unit rumah/hunian di lokasi pembangunan huntap sebagai tempat/posko kesehatan.
"Ini dalam rangka menjaga kesehatan dan keselamatan kerja, sekaligus upaya untuk tetap mencapai target pembangunan," ujarnya.
Budha Tzu Chi akan membangun 1.500 huntap di Kelurahan Tondo untuk penyintas bencana 28 September 2018. Saat ini, jumlah huntap yang telah selesai dibangun dan siap huni telah mencapai ratusan unit.*
Baca juga: Pemkot Palu terima bantuan Bank Sulteng untuk penanganan COVID-19
Baca juga: Perempuan Sulteng dan upaya atasi pandemi COVID-19
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020