"Di dalam pendekatan sosial di situ ada pendekatan keagamaan. Bagaimana restorasi gambut yang perlu melibatkan banyak orang dan di dalamnya melibatkan stakeholders, oleh karena itu di situ ada pendekatan moral keagamaan," kata Suwignya dalam diskusi via konferensi video di Jakarta, Jumat.
Hal itu dilakukan, kata dia, karena berbagai kerusakan lingkungan, termasuk kebakaran hutan dan lahan gambut, disebabkan oleh tindakan manusia.
Berdasarkan hal itu, BRG akhirnya pada 2018 membuat program "Da'i Peduli Gambut" dan "Gereja Peduli Gambut" untuk membawa persoalan pelestarian dan restorasi gambut langsung ke akar rumput.
Dia mengatakan, dengan melatih para pemuka agama untuk perawatan gambut dengan tidak membakar, ingin dicapai pendekatan berbasis desa dengan menggunakan tokoh agama yang dipercaya oleh masyarakat.
Upaya pelestarian itu, katanya, juga dilakukan lewat penyusunan materi dakwah dan mengasosiasikan praktik menjaga lingkungan dengan yang ada di kitab suci.
Sejauh ini, BRG sudah melibatkan 257 orang dalam program Da'i Peduli Gambut dan 104 orang pendeta untuk program Gereja Peduli Gambut, kata dia.
Selanjutnya, diharapkan tidak hanya berhenti dalam pengajaran agama, tapi BRG ingin melakukan program pengaplikasian lanjutan di lapangan, seperti sekolah lapangan.
Sementara peneliti konservasi biologi Fachruddin Mangunjaya mengatakan pPendekatan agama dilakukan karena cara konvensional saja tidak cukup untuk mendorong perawatan dan upaya restorasi gambut di desa-desa.
"Karena ini masalahnya berkaitan dengan manusia juga, maka diperlukan pendekatan yang lebih inovatif, yaitu melalui pendekatan agama," kata akademisi di Universitas Nasional (UNAS) sekaligus Ketua Center for Islamic Studies (PPI UNAS) itu.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020