Peneliti Pusat Kajian Visi Teliti Saksama Widyar Rahman memperkirakan kinerja perekonomian Indonesia baru dapat pulih pada 2022 dengan proyeksi pandemi Virus Corona baru atau COVID-19 reda pada pertengahan 2020.Tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai akhir 2021
"Tentunya proses pemulihan ekonomi akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, setidaknya sampai akhir 2021," kata Widyar dalam pernyataan di Jakarta, Senin.
Widyar menjelaskan penurunan jumlah kasus positif Corona yang disertai dengan kebijakan penanganan untuk mengatasi COVID-19 dapat menjadi kabar positif bagi pulihnya perekonomian.
Baca juga: Pemerintah proyeksikan pertumbuhan ekonomi 4,5 - 5,5 persen pada 2021
Namun, menurut dia, permintaan barang dan jasa yang belum pulih dalam waktu dekat masih memperlambat pertumbuhan industri pengolahan nasional.
Kondisi itu juga dipengaruhi oleh kinerja perdagangan global yang masih terdampak oleh turunnya kinerja industri manufaktur di China yang menjadi pusat penyebaran wabah.
"Jika dibandingkan wabah SARS 2002-2003 yang juga berasal dari China, dampak negatif dari merebaknya COVID-19 terhadap perekonomian akan jauh lebih luas," kata Widyar.
Baca juga: Faisal Basri prediksikan ekonomi Indonesia tumbuh 0,5 persen pada 2020
Peneliti Senior Visi Teliti Saksama Sita Wardhani menambahkan dari sisi produksi saat ini rata-rata produsen dalam negeri hanya memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020.
Jika pasokan dari China yang selama ini merupakan mitra dagang utama, dalam periode ini terhambat atau hanya terpenuhi sedikit, maka proses produksi pabrik di Indonesia dapat terganggu.
"Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April," kata Sita.
Baca juga: BI optimis ekonomi RI bisa tumbuh 6 persen tahun 2021 pasca-COVID-19
Namun, tambah dia, bila pemulihan ekonomi di China berlangsung lebih lama dari perkiraan, maka pemenuhan barang baku impor dapat tertunda lebih lama.
Menurut Sita, kelangkaan bahan baku itu bisa mempengaruhi beberapa industri unggulan yang tidak lagi mampu memenuhi permintaan seperti sektor makanan dan minuman. Kelangkaan pasokan itu diperkirakan dapat memicu terjadinya inflasi tinggi, sehingga sektor rumah tangga akan menurunkan konsumsi.
"Dengan tingkat inflasi tinggi, konsumsi rumah tangga juga turun sejalan dengan daya beli yang juga menurun. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi pun dapat terpuruk lebih jauh," kata Sita.
Baca juga: Gubernur BI: Harga minyak anjlok positif bagi ekonomi RI, ini sebabnya
Pewarta: Satyagraha
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020