"Program yang paling banyak disorot masyarakat adalah kartu pra-kerja. Program ini sebenarnya sangat tepat dan pas apabila diterapkan dalam situasi normal, karena konsep dasar program ini lebih untuk menyiapkan calon angkatan kerja baru atau untuk mencetak wirausahawan baru. Namun, menjadi kurang tepat sebagai jurus penanggulangan dampak pandemi COVID-19," kata La Nyalla di Surabaya, Senin.
Mantan Ketua Kadin Jatim ini mengakui kurang tepatnya program itu setelah dirinya bertemu dengan sejumlah elemen masyarakat dalam upaya pengawasan dan pemantauan situasi lapangan di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur.
Baca juga: Ketua DPD RI temukan relaksasi kredit belum dirasakan masyarakat
"Saya sengaja turun ke lapangan untuk melihat sendiri, karena dari dulu saya tidak percaya kertas-kertas laporan. Saya harus cek dan bertemu masyarakat," katanya, kepada wartawan.
La Nyalla mengakui situasi saat ini berbeda drastis, dan banyak dunia usaha yang kolaps, daya beli masyarakat turun, PHK resmi maupun tak resmi, dengan pola karyawan dirumahkan dan ada jutaan jumlahnya.
Saat ini, kata dia, orang hanya butuh uang untuk sekadar makan, khususnya di kota dan wilayah urban yang cukup tinggi.
"Mereka tidak butuh dibelikan modul pelatihan pemerintah, tetapi substitusi atas kehilangan penghasilan karena terkena PHK atau dirumahkan," katanya.
Baca juga: Ketua DPD ingatkan pemerintah beri bantuan sosial terkait larang mudik
La Nyalla mengatakan, biaya program kartu pra-kerja dengan total alokasi Rp20 triliun, dengan rincian biaya pelatihan daring Rp5,6 triliun, biaya insentif Rp13,45 triliun, dan biaya survei Rp840 miliar, namun hanya komponen biaya insentif saja yang bisa diterima dalam bentuk tunai sebesar Rp600 ribu per bulan oleh pemegang kartu pra-kerja.
Sisanya, kata dia, untuk membayar mitra pemerintah, sehingga perlu dievaluasi agar semua dialihkan ke masyarakat.
"Prioritas kita masyarakat tersubstitusi atas hilangnya mata pencaharian mereka," katanya.
Baca juga: Ketua DPD ajak pengusaha berinvetasi dengan pola kemitraan
La Nyalla mengatakan, dana penanggulangan COVID-19 sebesar Rp405,1 triliun yang disediakan pemerintah juga masih tergolong sangat sedikit dibanding alokasi yang disiapkan sejumlah negara lain.
"Nah apalagi kalau dirasa sangat terbatas, seharusnya sangat selektif dan efektif penggunaannya. Bayangkan biaya survei Rp800 miliar. Angka ini besar lho kalau dibelikan beras. Sebaiknya prioritas sekarang masyarakat yang miskin, yang kesulitan untuk makan, harus dijamin bisa makan," katanya.
Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020