• Beranda
  • Berita
  • BI : Tren perlambatan permintaan batu bara berlanjut

BI : Tren perlambatan permintaan batu bara berlanjut

30 April 2020 19:16 WIB
BI : Tren perlambatan permintaan batu bara berlanjut
Dokumentasi - Foto udara tempat penumpukan sementara batu bara di Muarojambi, Jambi.(21/4/2020). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp/pri.

Sejumlah negara terutama China dan India memilih untuk mendorong sektor pertambangan domestik

Bank Indonesia Wilayah Kalimantan Selatan merilis tantangan ekonomi Kalimantan Selatan pada 2020-2021 seiring dengan tren perlambatan permintaan dan harga batu bara yang hingga kini masih berlanjut yang antara lain disebabkan meluasnya pandemi global COVID-19.

Berdasarkan data Bank Indonesia Wilayah Kalsel di Banjarmasin Kamis disebutkan, permintaan batu bara global diperkirakan menurun seiring kebijakan negara mitra dan implementasi energi baru terbarukan (EBT).

Kondisi tersebut, akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi Kalsel, karena pangsa ekspor komoditas utama Kalsel adalah komoditas batu bara dengan total 75,22 persen.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Selatan (KPw BI Kalsel) Amanlison Sembiring saat menjadi pembicara pada Musrenbang Kalsel yang dilaksanakan secara online pada Selasa (28/4) 2020, menyampaikan hal tersebut.

Menurut Sembiring, pertumbuhan ekonomi Kalsel 2020 cenderung tertahan, karena dipengaruhi melambatnya investasi serta perlambatan sektor
pertambangan akibat meluasnya dampak COVID-19.

Selain itu, sejumlah negara terutama China dan India memilih untuk mendorong sektor pertambangan domestik, sehingga diprakirakan akan menahan impor batu bara ke depan.

Dijelaskan dia, penurunan permintaan batu bara disebabkan oleh ports restriction juga akibat pandemi COVID-19 di dua negara importir terbesar, yaitu China dan India.

Total impor batu bara China tahun 2020 diprediksi hanya sebesar 271 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (299 juta ton) akibat adanya kebijakan kontrol impor batubara.

Tren peningkatan implementasi energi baru terbarukan (EBT), misalnya Jepang yang berencana untuk beralih ke pemanfaatan energi gas, juga menjadi salah satu faktor pendorong turunnya harga batu bara.

Melemahnya harga batu bara, juga didorong oleh proyeksi rata rata pertumbuhan kebutuhan listrik yang turun dari pertumbuhan sebelumnya 6,86 persen menjadi 6,42 persen.

Konsumsi listrik di beberapa industri manufaktur India mengalami penurunan sekitar 30 persen dan konsumsi listrik untuk non-power industry telah dimintakan untuk berhenti.

Apalagi, Korea Selatan berencana untuk tidak mengoperasikan beberapa unit pembangkit listrik batu bara sejalan dengan upaya untuk mengurangi polusi udara.

Selain itu, rencana kebijakan bauran energi nasional yang secara gradual menunjukkan pengurangan porsi pemanfaatan baru bara.

Beberapa negara Asia Tenggara (Malaysia, Filipina, Vietnam) yang tengah mengalami karantina wilayah dan salah satu diantaranya mengambil kebijakan untuk mengurangi konsumsi batu bara.

Seperti Vietnam menerapkan kebijakan mengurangi konsumsi batu bara sebanyak 20 persen.

Selain itu, menurunnya permintaan dari Filipina karena masalah kebutuhan domestik.

Prakiraan menurunnya permintaan Jepang terkait dengan kebijakan penggunaan kapal nasional (Permendag 82/2017) juga akan mempengaruhi berkurangnya permintaan batu bara.

Baca juga: Pemerintah kembali keluarkan regulasi penjualan mineral
Baca juga: Bank Jepang akan hentikan pendanaan bisnis batu bara

 

Pewarta: Ulul Maskuriah
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020