E-book Berdampak Besar Bagi Industri Percetakan

27 Juni 2009 23:23 WIB
E-book Berdampak Besar Bagi Industri Percetakan
(www.ebookreadersreview.co.uk)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Dion Sihotang mengatakan, kehadiran e-book (buku elektronik) tidak akan dapat menyaingi keberadaan buku konvensional, namun keberadaan e-book berdampak besar bagi industri percetakan Indonesia.

"E-book tidak akan pernah bisa menggantikan buku konvensional selamanya, karena buku mempunyai karakteristik tersendiri sehingga buku tidak akan mati," kata Dion dalam acara loka karya konvensi pekan produk kreatif Indonesia, Jakarta, Sabtu.

Menurutnya, keberadaan e-book sendiri merupakan kendala eksternal penerbitan sendiri karena adanya ancaman teknologi dari persaingan antara e-book dan buku konvensional walaupun di era teknologi maju seperti sekarang.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang membeli hak cipta penerbit buku pelajaran sekolah tertentu untuk dijadikan e-book gratis juga berpotensi menjatuhkan industri penerbitan buku Indonesia.

"Hal itu disebabkan karena pemerintah mengharuskan pelajar Indonesia mengunduh buku sekolah elektronik (BSE) dan memberikan efek pada banyaknya pemutusan hubungan kerja di bidang penerbitan," katanya.

Menurut dia, pembelian hak cipta justru mematikan industri kreatif penerbitan buku karena menuntut perusahaan penerbitan untuk tidak menerbitkan buku yang sama selama 15 tahun.

Buku-buku penerbit swasta sekalipun yang sudah ditulis dan terbitkan, tidak boleh dibeli sekolah-sekolah Indonesia kecuali buku yang termasuk daftar BSE.

Padahal selain BSE, masih banyak buku terbitan swasta yang kualitasnya lebih bagus, karena pihak penerbitnya menolak untuk menjual hak ciptanya kepada pemerintah.

"Buku yang diunduh ke internet kualitasnya relatif lebih rendah," katanya.

Menurutnya kebijakan pembelian hak cipta penerbitan yang kemudian diunduh ke internet oleh pemerintah ini merupakan kebijakan singkat pemerintah.

"Anehnya pemerintah juga melarang membeli buku diluar yang diakui pemerintah, dalam hal ini buku-buku yang lulus BSE," katanya.

Dari kebijakan e-book pemerintah yang sudah berjalan ini, sekitar 250 penerbit besar juga mengalami kerugian besar, ia mencontohkan dengan penurunan omzet sekita 70 persen yang dialami oleh penerbit Airlangga yang biasanya mampu meraih omzet sebesar satu triliyun dalam setahun.

"Penerbit Airlangga mengalami penurunan yang sangat tajam sebesar 70 persen, karena sekolah-sekolah dilarang membeli buku selain BSE," katanya.

Ia menuturkan, kalaupun BSE ini dicetak, harga yang ditawarkan harus memenuhi harga eceran tertentu (HET) buku pelajaran sekitar Rp.4 ribu hingga Rp.15 ribu, sehingga hanya memberikan sedikit keuntungan bagi pihak penerbitnya, belum lagi jika pihak sekolah dan guru meminta potongan harga sekitar 20 persen dari penjualan buku tersebut.

Sedangkan kendala internal yang dihadapi kalangan penerbit adalah kurangnya sumber daya manusia yang menguasai bisinis penerbitan dengan baik, walaupun sekarang sudah terlihat penyususnan tampak muka yang sudah relatif bagus.

Kendala itu juga didukung dengan kurangnya kompetensi SDM di bidang penerbitan baik itu penulis, editor, layouter, desain grafis, promosi, marketing dan penerbitan itu sendiri.

Kurangnya modal kerja juga merupakan kendala internal yang juga harus dihadapi pihak penerbit menghadapi krisis global dengan meningkatnya harga kertas di pasaran.

Ia menganjurkan pemerintah untuk meninjau ulang kebijakannya yang dinilai diambil secara singkat untuk bisa menyelamatkan industri penerbitan agar harga buku tidak mahal.

Krisis global yang melanda belakangan ini juga menyumbang kontribusi pada industri ini, dampak yang terjadi adalah penurunan daya beli masyarakat sehingga pemasukan industri penerbitan buku menjadi merosot.

Pihaknya mengharapkan perhatian pemerintah yang lebh besar pada industri penerbitan terlebih dari Departemen pendidikan nasional (Depdiknas) mengenai penerbitan buku-buku pelajaran.

Selain itu IKAPI juga mengharapkan pusat perbukuan agar lebih ditingkatkan statusnya menjadi Badan negara seperti Perpustakaan Nasional agar dapat lebih mandiri juga untuk memajukan dunia perbukuan.

Serta perlunya dukungan pemerintah menganai kerja sama dengan perpusnas dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbitan untuk menghasilkan kualitas buku yang lebih baik dari segi konten dan lay out buku itu sendiri agar buku Indonesia bisa diminati masyarakatnya.(*)

Pewarta: luki
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009