"Mengajak memasuki imajinasi dalam virtual tur untuk melihat relief tertutup batu. Ini sebagai media imajinasi," kata pengkaji BKB Bramantara dalam diskusi daring "Menguak Relief Tersembunyi Candi Borobudur" yang diikuti di Magelang, Sabtu.
Kegiatan dengan narasumber lainnya, Hendy Hertiasa (pengajar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung) dan moderator Dhanny Indra Permana (konsevator BKB) itu, dalam rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 yang diselenggarakan BKB.
Selain menjelaskan tentang berbagai hal menyangkut relief di bagian tenggara Candi Borobudur itu, ia juga menyebut tentang alasan penutupan relief yang antara lain terkait dengan kondisi sekitar bangunan yang rawan longsor dan faktor kelayakan dari sudut pandang keagamaan.
Ia menyebut relief dengan 160 panel itu memaparkan tentang hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia.
"Karmawibhangga, memaparkan alur sebab akibat hidup masa lalu, hukum sebab akibat satu pengertian penting, untuk memahami adegan makna di Karmawibhangga, baik buruk manusia ditentukan manusia sendiri. Berlaku untuk semua orang," kata dia.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, relief Karmawibhangga pernah dibuka untuk penelitian. Fotografer pribumi Jawa berasal dari Kesultanan Yogyakarta Kassian Chepas (1845-1912) mendokumentasikan relief itu untuk kemudian ditutup lagi.
"Karena dalam perjalanannya, detail relief Karmawibhangga tidak bisa dieksplore secara maksimal, tidak bisa divisualkan kepada pemirsa sehingga kami gunakan konsep (virtual tur atau 'digital heritage', red.), kita seolah-olah lihat langsung dengan cara masuk ke blok-blok batu yang ditutup itu," ucap dia.
Ia mengemukakan BKB melakukan riset untuk menemukan formula yang realistis terkait dengan virtual tur Karmawibhangga, antara lain berupa narasi relief-relief tersebut dengan lorong struktur yang membawa imajinasi dan memudahkan penyerapan pengetahuan tentang relief tersebut.
Ia menyebut virtual tur Karmawibhangga itu berupa tiga dimensi yang realistis atau sesuai di lapangan.
"Balai Konservasi Borobudur melakukan riset untuk menemukan formula yang realistis," katanya.
Ia juga menyebut pengembangan virtual tur itu bermanfaat untuk kepentingan presentasi dan nilai transmisi bagi pewarisan budaya kepada generasi muda saat ini.
Gambaran tentang relief Karmawibhangga, katanya, memberikan kontribusi terhadap pendidikan karakter generasi muda yang saat ini menghadapi Revolusi Industri 4.0.
"Virtual tur atau digital heritage saya pikir bukan hanya sesuatu yang biasa saja atau pelengkap saja, tetapi konteks digital masuk peran yang lebih besar lagi tentang relief di kaki Candi Borobudur," kata dia.
Hendy Hertiasa mengemukakan penggunaan bahasa virtual membuat bahasa relief menjadi populer.
"Dengan bahasa virtual, bahasa relief menjadi populer. Relief warisan yang terpendam itu bisa dieksplorasi. Pengunjung tidak hanya lari ke atas candi, selfie (swafoto) lalu turun. Pengunjung bisa pulang membawa nilai-nilai yang kami suguhkan kepada mereka," katanya.
Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020