Nilai tukar (kurs) rupiah pada Kamis (30/04/2020) ditutup menguat 2,7 persen menjadi Rp14.882 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.295 per dolar AS.Saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah nilai fundamental (fundamental value) yang disebabkan perbedaan imbal hasil (yield) yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows''
Anggota Komisi XI DPR-RI Fraksi Partai Golkar Puteri Anetta Komarudin meminta agar penguatan nilai tukar rupiah terus dijaga stabilitasnya hingga bergerak ke arah nilai fundamentalnya.
"Saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah nilai fundamental (fundamental value) yang disebabkan perbedaan imbal hasil (yield) yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows," ujar Puteri.
Sebelumnya, kurs rupiah sempat mengalami depresiasi cukup dalam hingga di atas Rp16.620 per dolar AS pada pertengahan Maret lalu, seiring eskalasi wabah pandemik virus Corona (COVID-19) di Indonesia.
Baca juga: Gubernur BI sebut minat investor tinggi beli SBN mampu dongkrak rupiah
Depresiasi itu sempat memicu kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan dolar AS di pasar global.
Padahal pada kuartal pertama, defisit transaksi perdagangan masih lebih rendah dibandingkan perkiraan yaitu 1,5 persen dari 2,5 sampai 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Puteri menilai penguatan kurs rupiah tidak terlepas dari peran Pemerintah maupun otoritas terkait seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam merumuskan operasi moneter dan fiskal.
Selama periode Januari hingga April, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran makroprudensial dengan injeksi likuiditas perbankan sebesar Rp386 triliun.
Selain itu, Bank Indonesia juga akan kembali melakukan quantitative easing sebesar Rp117,8 triliun pada awal bulan ini.
Menurut Puteri, kebijakan quantitative easing berbeda dengan mencetak uang. Quantitative easing merupakan kaidah kebijakan moneter yang dilakukan apabila kondisi likuiditas perbankan berkurang, sehingga diperlukan penambahan likuiditas.
Penambahan dilakukan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), term repo perbankan, serta pembelian SBN di pasar sekunder.
Baca juga: Anggota DPR apresiasi kebijakan BI stabilkan rupiah saat pandemi
Sementara, istilah mencetak uang adalah ketika bank sentral menambah uang yang beredar namun tidak dapat diserap, misalnya, ketika Bank Sentral mengedarkan uang dengan membeli surat utang pemerintah yang tidak dapat diperdagangkan (tradable) dan suku bunganya mendekati 0 persen, sehingga dapat menimbulkan inflasi yang signifikan.
Untuk itu, Puteri menyampaikan apresiasinya terhadap intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan quantitative easing dengan total mencapai Rp503,8 triliun untuk mengurangi ketatnya dolar di pasar, sehingga dapat membantu stabilisasi nilai tukar rupiah.
Namun, operasi moneter itu juga harus didukung dengan kebijakan fiskal oleh pemerintah, maupun kebijakan sektor keuangan dari OJK dan LPS dimana masing-masing entitas harus memiliki kesepahaman yang sama atas kebijakan pelonggaran tersebut.
"Hal itu dapat dilakukan dengan terus memperkuat bauran kebijakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar dan pemulihan ekonomi," tutur Puteri.
Beberapa hari lalu, pemerintah telah mengumumkan paket stimulus fiskal untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terkena dampak COVID-19.
Kebijakan tersebut di antaranya terdiri atas insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, hingga perluasan pembiayaan modal kerja.
Jika intervensi BI adalah dengan mendukung likuiditas perbankan, maka peran pemerintah adalah melalui pelonggaran aspek fiskal yang bertujuan untuk menggerakkan sektor riil. Stimulus fiskal ini diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi investor untuk mulai berinvestasi ke pasar domestik sehingga kembali memicu capital inflows," demikan kata Puteri.
Baca juga: Rupiah menguat, Gubernur BI apresiasi eksportir
Baca juga: Gubernur BI: Rupiah menguat, pasar percaya kebijakan tangani COVID-19
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020