"Masih ada kesempatan untuk duduk bersama antar pemangku kepentingan dalam rangka menjembatani perbedaan pandangan yang masih terjadi," kata Cecep dalam siaran pers, Senin.
Cecep melihat penolakan terhadap RUU Cipta Kerja antara lain disebabkan kurangnya sosialisasi secara masif dari DPR dan pemerintah.
Padahal, menurut dia, terlepas dari beberapa hal yang perlu dikritisi, RUU tersebut banyak memiliki substansi positif yang dibutuhkan bangsa ini dan perlu didukung terutama saat menghadapi krisis sekarang ini.
Menurut Sekjen Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN) ini, suatu kebijakan perlu dirumuskan dan dibahas sesuai prosedur dan proses sewajarnya. Dengan demikian, kesan terburu-buru harus dihindarkan.
‘’Kan harus ada unsur pelibatan pihak terkait, misalnya berupa 'public hearing' yang intens. Ada partisipasi publik. Partisipasi masyarakat,’’ katanya.
Baca juga: Pemerhati: Buruh dirumahkan harus ada solusi yang tepat
Baca juga: Hari Buruh - Ormas di Malaysia berbagi sembako ke PMI
Cecep menyatakan, pembahasan semua klaster, terutama ketenagakerjaan sebaiknya juga mendengar berbagai kajian dan melibatkan perguruan tinggi secara masif sehingga terjadi perdebatan ilmiah dalam konteks ini.
“Kalau saya bilang sih, slow but sure,” katanya.
Menurut Sekretaris II Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi) itu, Omnibus Law dibuat untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini terkesan sektoral. Karena itu, jika dibahas tanpa proses yang matang, bisa saja nanti digugat setelah disahkan dan menimbulkan masalah berkepanjangan.
Dengan prinsip "slow but sure", Prof Cecep meyakini lebih baik ada yang diubah sejak awal tapi akhirnya akan menghasilkan produk yang baik, daripada dipaksakan tapi kemudian membuahkan hasil yang bermasalah atau dianggap merugikan pihak tertentu.
‘’Kita sepakat, semua pihak harus mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Kalau semangat ini dipegang, pasti akan ada titik temu,” tegas Cecep.
Dosen Sesko TNI ini juga menggarisbawahi, produk undang-undang harus memenuhi tiga aspek, yakni filosofis, sosiologis dan yuridis.
"Apakah sesuai falsafah bangsa, lalu secara sosiologis mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kemudian, secara yuridis sejauh mana taat regulasi termasuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat seluruhnya," katanya.
Cecep menilai pemerintah memiliki niat baik untuk menciptakan iklim investasi dan bisnis yang kondusif, menghindari ekonomi biaya tinggi dan memangkas regulasi yang menghambat investasi.
Karena itulah, Cecep mendorong komunikasi DPR dengan berbagai pihak harus intens dalam pembahasan. Hal ini untuk menata ulang substansi-substansi pasal-pasal yang dianggap masih menyisakan sejumlah persoalan krusial khususnya klaster ketenagakerjaan.
Pemerintah harus lebih sistematis dan masif agar urgensi RUU Cipta Kerja dapat dipahami semua pihak.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2020