"Masalah komunikasi risiko, jadi pemerintah atau siapapun harus memastikan bahwa seluruh komunikasi ke masyarakat tentang seluk beluk COVID-19 ini sampai secara proporsional, tepat, akurat sehingga tidak ada informasi yang simpang siur dan keliru," kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu dalam konferensi pers yang dilakukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta, Minggu.
Informasi, tegas dia, tidak boleh hanya dipenuhi oleh isu negatif yang dapat menakuti khalayak. Ketakutan itu dapat menyebabkan individu menjadi paranoid dan mengalami stres berlebihan.
Terlalu banyak informasi yang bersifat menakuti dampaknya dapat dilihat dari beberapa tindakan diskriminasi yang terjadi di masyarakat dalam beberapa hari terakhir seperti penolakan terhadap petugas kesehatan dan jenazah pasien COVID-19.
Baca juga: Pemerintah luncurkan situs resmi info akurat COVID-19
Baca juga: Polri minta masyarakat saring info yang diterima di medsos
Tapi Hamdi juga menekankan bahwa sebaliknya informasi yang disebarkan tidak boleh yang bersifat menyepelekan COVID-19 dan dampak yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan.
Jika hal itu terjadi maka masyarakat dapat menjadi tidak peduli dan tidak memperhatikan protokol kesehatan untuk mengurangi angka infeksi penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru itu.
"Manajemen informasi itu kata kunci karena akan mempengaruhi pola pikir, emosi dan cara orang berperilaku," kata dia.
Manajemen informasi yang tidak tepat akan menimbulkan informasi ambigu atau bahkan keliru yang bisa memicu terjadinya banjir hoaks dan berkembangnya teori konspirasi di masyarakat.
Baca juga: MPR: Info penanggulangan COVID-19 agar satu suara
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020