"Saya nagih ke Mas Ulum sudah 'pegel', 'pegel' bahasa Betawinya apa ya mohon maaf, bagaimana ya 'Lum kapan mau bayar?', 'lagi gak punya duit, lagi gak punya duit' yang saya ingat uang Rp180 juta buat bayar fondasi," kata Hasbiallah di rumahnya di Jakarta, Senin, dalam sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) yang dilakukan melalui "video conference".
Hasbiallah menjadi saksi untuk asisten pribadi Menpora Miftahul Ulum yang bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dan gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar.
Baca juga: KPK dalami pengakuan Taufik Hidayat jadi kurir penerima uang
Baca juga: Mantan bendahara akui serahkan uang ke mantan Menpora Imam Nahrawi
Sidang dilakukan melalui sarana "video conference", Hasbiallah berada di kediamannya sedangkan Miftahul Ulum berada di rumah tahanan (rutan) KPK, jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Hasbiallah mengaku menjadi broker tanah seluas sekitar 1200 meter persegi di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur senilai total Rp4 miliar.
"Pada waktu itu Pak Imam masih jadi Sekjen di DPP PKB, kita main setelah pemilu Pak Imam ngomong pengen punya rumah di DKI. 'Cariin tanah dong ji', ya saya cariin ya sudah putar-putar akhirnya ketemu tanah Pak Thamrin yang kebetulan temen saya juga, Pak Imam lihat di Ceger cocok," ungkap Hasbiallah.
Baca juga: Taufik Hidayat akui jadi kurir penerima uang untuk Imam Nahrawi
Hasbiallah menjelaskan sudah kenal Imam sejak 2009 saat sama-sama menjadi kader PKB. Imam pernah menjabat sebagai Sekjen PKB sedangkan Hasbiallah menjadi bendahara DPW PKB dan ketua DPW PKB pada 2013.
Untuk pembayaran tanah, menurut Hasbiallah, lebih banyak dilakukan secara bertahap oleh Ulum.
"Mana uangnya, terus saya dapat uangnya dari Pak Ulum, Ulum ngasih saya ini berapa ya sudah bayar," tambah Hasbiallah.
Namun Hasbiallah mengaku lupa berapa kali Ulum mencicil pembayaran tanah tersebut.
Baca juga: Ponsel yang ditemukan di sel Imam Nahrawi juga dipakai tahanan lain
"Saya ingat hanya bulan Ramadhan, Rp1,6 (miliar) yang saya ingat diperkirakan semua karena saya bener-benar lupa, kejadian sudah 6 tahun yang lalu," ungkap Hasbiallah.
Ulum biasanya menghubungi Hasbiallah melalui telepon untuk memberikan cicilan tersebut.
"Kadang-kadang via telepon Ulum kontak, 'Be saya mau ke rumah', ya sudah ke rumah datang dibayar terus ke sananya saya lupa, tidak ada kuitansi, berdasarkan rasa percaya saja," tambah Hasbiallah.
Namun di tengah jalan, kerja sama antara Hasbiallah dan Imam terputus sehingga Hasbiallah masih menahan surat tanah tersebut.
"Sebenarnya belum lunas karena surat saya tahan, karena awalnya selain saya diminta mencari tanah, saya juga diminta 'nukangin', lalu saya bangun, saya bikin gambar, saya konsolidasi ke ibu di rumah beliau di Kalibata, di rumah dinas DPR tapi tiba-tiba diputuskan sepihak, bukan saya lagi yang ngebangun, padahal saya sudah bangun fondasi Rp180 juta, ya sudah saya tahan suratnya sampai dia bayar punya saya," jelas Hasbiallah.
Baca juga: Imam Nahrawi bantah miliki ponsel di rutan
Surat tanah tersebut sudah diserahkan ke KPK. Surat itu seharusnya atas nama Shobibah Rohmah.
"Surat diatasnamakan Bu Shohibah, yang minta Ulum yang bicara ke saya," kata Hasbiallah.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa istri Imam, Shobibah Rohman ingin merenovasi rumah pribadi Imam di Cipayung, Jakarta Timur menggunakan jasa kantor Budipradono Architecs dengan perjanjian biaya pengerjaan sebesar Rp700 juta pada 9 Juli 2015. Pembayaran dibagi menjadi 4 termin yaitu Rp200 juta, Rp300 juta, Rp150 juta dan Rp50 juta.
Pembayaran termin 1 sudah dibayar pada 9 juli 2015 dan untuk pembayaran selanjutnya Shobibah meminta agar Intan Kusuma Dewi dari kantor arsitek berkoordinasi dengan Ulum.
Baca juga: Mantan Sesmenpora sebut dimintai Rp5 miliar dengan ancaman pencopotan
Sekitar September 2016, Shobibah meminta dibuatkan desain interior Hatice Boutique and Cafe di Kemang mencapai Rp300 juta sedangkan biaya jasanya Rp90 juta namun pengerjaan ini tidak dituangkan dalam kontrak dan hanya berdasar saling percaya saja.
Pada Oktober 2016, Ulum lalu menghubungi bendahara Satlak Prima Kemenpora Lina Nurhasanah dan meminta uang sejumlah Rp2 miliar untuk membayar "Omah Bapak". Lina sempat menolak namun karena Ulum mendesak maka Lina menyiapkan uang Rp2 miliar dari dana akomodasi atlet pada anggaran Satlak Prima.
Uang Rp2 miliar diserahkan staf Lina bernama Alverino Kurnia pada 12 Oktober 2016 kepada Intan Kusuma Dewi di kantor Budipradono Architecs dan dibuatkan tanda terimanya.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020