Pengamat sosial Eko Marhaendy minta agar pemerintah dan DPR RI terus menggiatkan sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan publik.Kami melihat opini publik terbelah
"Kami melihat opini publik terbelah karena masing-masing pihak berupaya mencari media sebagai kanal opini," kata Eko yang juga Ketua Badan Kajian Strategis Al Washliyah dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa.
Seperti pekerja atau buruh di Jakarta sebagian menolak rancangan undang-undang ini, namun ada juga yang memberikan dukungan.
Mereka yang memberikan dukungan karena memiliki perspektif dapat memajukan ekonomi sehingga pada akhirnya berdampak langsung terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan, jelas Eko.
"Saya melihat mereka yang mendukung tersebut menyangkut kepentingan mereka sebagai kelompok muda yang membutuhkan lapangan kerja. Sehingga RUU Cipta Kerja dapat dimaknai sebagai jaminan bagi kaum muda untuk lebih mudah mendapat pekerjaan,” papar Eko.
Baca juga: AICHR sebut pembahasan RUU Cipta Kerja di masa pandemi tak tepat
Sedangkan penolakan lebih didasari kekhawatiran yang justru bertolak belakang dengan tujuan prinsipil RUU Ciptaker itu sendiri.
Terkait hal itu Eko mengatakan telah membuat kajian menggunakan pendekatan critical discourse analysis dalam rangka memetakan opini terkait RUU di media.
Eko dan kawan-kawan melakukan wawancara mendalam kepada jajaran pengurus Al Washliyah pusat dan daerah terkait RUU Cipta Kerja.
Kajian juga dilengkapi teknik kuesioner untuk memperoleh pandangan alternatif di luar pandangan pengurus inti. Baik kuesioner maupun wawancara disusun dan dirumuskan dengan melibatkan praktisi hukum, aktivis buruh, dan pelaku usaha.
Pemahaman terhadap RUU Cipta Kerja di ruang publik menurut Eko banyak dipengaruhi informasi yang tersebar di media sosial dan media daring. Berdasarkan kuesioner yang disebar, sumber informasi dari WhatsApp (34,21%), Facebook (18,42%), dan media daring (28,95%), menempati posisi tertinggi sebagai sumber informasi partisipan tentang RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Pakar: Segera sahkan RUU Cipta Kerja sebelum pandemi COVID-19 berlalu
“Jika pada bagian terdahulu media sosial dipetakan sebagai kanal informasi bagi suara-suara yang menolak RUU, maka paparan data ini telah menguatkan dugaan itu,’’ kata Eko.
Menurutnya, isu-isu yang menguat di ruang publik dalam konstruksi wacana RUU Cipta kerja justru terjadi pada hal-hal yang tidak substansial. Isu hilangnya hak cuti perempuan haid dan kebebasan berserikat misalnya, dinilai Eko menguat tapi tanpa rujukan jelas.
‘’Pasal-pasal yang mengatur bagian hak cuti haid dan kebebasan berserikat faktanya tidak dihapus ataupun diubah, yang artinya tetap berlaku. Dalam hal inilah 'kegagalan' memahami paradigma perubahan undang-undang ingin ditekankan,” tutup Eko.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020