"Kalau kita bicara mengenai ekskavasi, soal pembangunan aqua culture ini tantangan karena per unit area ada sekitar 1.500 ton karbon per unit area, 80 persennya di dalam tanah," kata peneliti senior di Center for Internation Forestry Research (CIFOR) itu dalam diskusi Pojok Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diadakan di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kapasitas penyimpanan karbon yang dimiliki oleh hutan mangrove tiga atau bahkan lima kali lipat dari hutan daratan yang dapat menyimpan 300 ton dalam kondisi rimbun.
Karena kemampuannya menyimpan karbon tersebut, ujar peneliti yang berkontribusi dalam penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) itu, mangrove mendapat tempat yang istimewa dalam mitigasi perubahan iklim.
Dia menegaskan pentingnya eksistensi mangrove di Indonesia dalam usaha mencapai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) yang dicanangkan lewat Persetujuan Paris untuk pada 2030 mengurangi emisi sebesar 29 persen lewat usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Menurut data dari Peta Mangove Nasional yang diluncurkan 2019 oleh pemerintah, Indonesia memiliki 3,31 juta hektare (ha) luasan mangrove dengan 2.673.583 ha dalam kondisi baik dan 637.624 ha dengan kerapatan jarang.
Usaha restorasi dan konservasi hutan mangrove kini harus menjadi salah satu fokus utama dalam langkah untuk mengekang perubahan iklim, mengingat Indonesia memiliki 20 persen dari total mangrove di seluruh dunia.
"Pesan yang penting kita sampaikan adalah mari konservasi bakau yang di kawasan lalu merestorasi yang di luar kawasan," ujar Daniel.
Guru Besar Ilmu Atmosfer di Jurusan Geofisika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB) itu juga mengatakan usaha untuk mengurangi emisi dari konsumsi bahan bakar fosil juga harus dibarengi dengan menjaga hutan mangrove.
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020