Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) menyebut enam tantangan yang harus dihadapi untuk menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2020.
Direktur Mitigasi BNPB Medi Herlianto dalam diskusi Menelisik Karhutla 2019 dan Area Potensi Terbakar 2020 di Jakarta, Rabu mengatakan tantangan penanganan karhutla tahun ini, antara lain kondisi pandemi COVID-19, masih adanya pembukaan lahan dengan cara bakar, kinerja sistem peringatan dini karhutla, manajemen dan anggaran terbatas, pencegahan yang terbatas, sumber daya terbatas, persoalan kolaborasi dan komando dari pusat hingga daerah.
Medi mengatakan Kepala BNPB Doni Monardo menegaskan pencegahan karhutla tetap utama, sekalipun anggaran untuk itu sangat kecil. Persoalan karhutla diketahui 99 persen terjadi karena dibakar dan 90 persen dibayar, karenanya perlu ada perubahan pola pikir terkait persoalan itu.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat di lokasi rawan karhutla menjadi satu hal yang perlu menjadi perhatian, dan itu diawali dengan edukasi tentang mata pencaharian baru yang berkelanjutan, terutama di ekosistem gambut.
Hanya saja, kata dia, persoalannya di masa pandemi COVID-19 akan semakin berat dilakukan karena keterbatasan anggaran pencegahan dan sumber daya manusia untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat. Dana siap pakai BNPB yang mencapai triliunan rupiah aturannya hanya digunakan untuk penanganan bencana, bukan pencegahan, sementara karhutla di lahan gambut jika sudah terlanjur terjadi akan memakan biaya sangat besar.
Karenanya, ia mengatakan upaya pencegahan harus diutamakan dan tentu membutuhkan keterlibatan banyak pihak, termasuk di dalamnya Badan Restorasi Gambut (BRG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), TNI/Polri, masyarakat desa, warga tingkat RT/RW.
“Di 2019, 1.500 personel kami turunkan di daerah rawan karhutla. Mereka tinggal bersama masyarakat untuk melakukan edukasi, mengajak tokoh masyarakat mengedukasi masyarakat lokal. Hal sama kita lakukan juga tahun ini, tapi tentu BNPB tidak bisa sendiri, gotong royong melakukan pencegahan harus dilakukan lebih awal,” ujar dia.
Menurut dia, sangat penting pemerintah daerah (Pemda) berinisiatif melakukan pencegahan hingga penetapan status kedaruratan bencana lebih awal. Karena jika telanjur terbakar akan sulit dipadamkan dan menghabiskan dana sangat besar.
Sebagai catatan, anggaran penanggulangan bencana BNPB 2019 sebesar Rp3,4 triliun itu dominan untuk melakukan pemadaman karhutla dengan cara water bombing dan teknik modifikasi cuaca (TMC), ujar Medi.
“COVID-19 ini sebenarnya membuat orang aware, bahwa pencegahan itu penting. Makanya legislasi ini ada rencana perubahan anggaran, isunya untuk penanggulangan bencana. Harusnya memang tidak harus melihat COVID-19, karena dengan ancaman kebencanaan yang terus meningkat setiap tahunnya tentu akan memerlukan penanggulangan yang besar, tapi kan setelah 2015 dananya tinggal 30 persen,” ujar dia.
Sebelumnya, dari hasil kajian area rawan terbakar (ART) 2020 dengan jejak akumulasi area terbakar 2015-2019, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan terdapat temuan kunci di mana lima provinsi dengan area rawan terbakar 2020 terluas diperkirakan dapat terjadi di Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.
Dari data batas administrasi RBI Badan Informasi Geospasial (BIG) dan hotspots NASA, hasil kajian Madani memperoleh temuan kunci bahwa sejak Januari hingga Maret 2020 tercatat 12.488 titik panas atau hotspot di Indonesia dengan area potensi terbakar seluas 42.312,44 ha. Provinsi Riau dengan titik panas dan area potensi terbakar terbesar mencapai 3.239 titik dan area potensi terbakar seluas 16.728 ha.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020