"Kenaikan Iuran BPJS di tengah situasi kebatinan warga menghadapi tantangan ditengah pandemi dan tantangan situasi ekonomi dirasakan kurang sensitif dan dapat berefek negatif," kata Sri dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.
Kenaikan iuran BPJS yang sebelumnya di tetapkan lewat Peraturan Presiden No. 75 tahun 2019 pada akhir Februari 2020 dinyatakan batal lewat keputusan Mahkamah Agung. Kini berbekal Peraturan Presiden No.64 Tahun 2020, pemerintah kembali menetapkan kenaikan iuran BPJS.
Baca juga: Istana jawab kritik soal kenaikan iuran PBJS
Baca juga: Bamsoet minta pemerintah kaji ulang rencana kenaikan iuran BPJS
Anggota Komisi IX DPR RI ini menjelaskan kenaikan iuran BPJS sangat mungkin dilakukan setelah situasi kembali normal dengan diawali perbaikan tata kelola lebih dahulu.
“Kenaikan iuran BPJS ini kurang sensitif perkembangan situasi, sebaiknya dikaji ulang. Kita lihat situasinya, 2,8 juta pekerja terancam PHK. Angka pengangguran diprediksi akan meningkat. Belum lagi usaha-usaha kecil penopang ekonomi warga juga terdampak COVID-19. Kalau pemerintah saja mengatakan bahwa ekonomi baru akan kemungkinan mulai pulih pada tahun 2021, perkiraan yang sama semestinya dipakai juga sebelum menaikKan iuran BPJS," paparnya.
Sri Wulan yang terkenal aktif di Komisi IX DPR RI menegaskan dengan menetapkan kenaikan iuran BPJS, bukan hanya warga yang akan mengalami dampaknya.
APBN yang selama ini menanggung subsidi iuran juga akan mengalami dampaknya. Naiknya jumlah pengangguran dan warga miskin otomatis harus di tanggung oleh pemerintah, karena ini berkaitan dengan hak warga negara yang harus dilindungi Undang-undang.
Oleh karenanya, hal tersebut juga harus diperhitungkan.
Baca juga: BPJS Kesehatan: Pemerintah masih dalam koridor jalankan keputusan MA
“Kita lihat postur ABPN 2020 dan 2021 saja sudah harus disesuaikan dengan kondisi pandemi dan pertumbuhan ekonomi paska pandemi. Anggaran belanja sudah digeser kesana-kemari. Benar-benar harus dipertimbangkan dampak kenaikan iuran BPJS ini terhadap APBN, agar defisit anggaran kita tidak berbahaya," ujar Sri.
Legislator asal Jawa Tengah ini menambahkan putusan MA soal pembatalan Iuran BPJS yang lalu terdapat pesan tegas bahwa kenaikan iuran harus mempertimbangkan aspek Yuridis, sosiologis dan filosofis dari adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Aspek tersebut, kata dia, masih belum berubah dan harus tetap menjadi patokan kebijakan pemerintah. Merujuk putusan MA, dia mengatakan warga tidak boleh dibebankan dengan kenaikan iuran akibat kesalahan dan kecurangan yang dilakukan pengelola BPJS.
"Jangan lupa, putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS itu memberi dua catatan serius," tuturnya.
Pertama, tidak berfungsinya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk merumuskan kebijakan umum dan singkronisasi penyelenggaraan SJSN. Kedua, kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial.
"Kita belum tahu apa rencana pengelola BPJS dan pemerintah untuk merumuskan dan melaksanakan perbaikannya," ucapnya.
Sri Wulan menekankan kenaikan iuran BPJS dalam situasi penurunan ekonomi akibat pandemi COVID-19 bisa menjadi bola liar di publik.
Upaya pemerintah untuk menghalau dampak lanjutan dari penurunan ekonomi yang tajam akibat pandemi lewat berbagai insentif bisa terancam gagal. Konsentrasi pemerintah untuk menghidupkan kembali memanaskan produksi nasional akan terganggu dengan polemik kenaikan iuran BPJS ini.
"Sebaiknya pemerintah kaji ulang dan tunda pemberlakuan kenaikan iuran BPJS ini. Kesalahan dan kecurangan pengelola sebagaimana putusan MA harus lebih dulu diperiksa mendalam. Roadmap singkronisasi progam jaminan sosial ini harus benar-benar dibuat matang. Kalau itu belum dihasilkan oleh BPJS, DJSN dan Kementerian terkait, jangan naikkan Iuran BPJS. Mereka yang mengelola ini harus lebih dulu bertanggung jawab atas kesulitan yang dialami. Bukan mendahulukan kenaikan iuran," tutupnya.
Baca juga: SPSI minta kenaikan iuran BPJS Kesehatan ditunda
Baca juga: Anggota DPD nilai pemerintah abaikan putusan MA
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020