Indonesia untuk bisa bertahan harus bersatu dengan negara-negara ASEAN bekerja sama dan menggalang kekuatan mengatasi persoalan di masa datang
Pendiri dan Chairman Lippo Group Mochtar Riady mengatakan pandemi COVID-19 telah mengubah tatanan kehidupan manusia yang menimbulkan dampak di berbagai sektor secara global dan agar Indonesia bisa bertahan harus bersatu dengan anggota negara ASEAN.
“Tidak satupun yang bisa memprediksi kapan dampak krisis ekonomi dan krisis keuangan ini berakhir di semua negara di dunia, namun bagi Indonesia untuk bisa bertahan harus bersatu dengan negara-negara ASEAN bekerja sama dan menggalang kekuatan mengatasi persoalan di masa datang,” kata Mochtar Riyadi dalam acara diskusi virtual bertajuk “Business Wisdom During COVID-19 Era” di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, banyak dampak negatif yang ditimbulkan pandemi ini. Industri penerbangan, industri pariwisata, keuangan dan perbankan, industri manufaktur dan lainnya semua akan terpuruk.
Akibat krisis maskapai penerbangan global mengalami kerugian bahkan ada yang tutup, pengangguran di Amerika Serikat meningkat bahkan diperkirakan bisa mencapai 25 persen. Di China perusahaan-perusahaan besar yang bergerak pada industri pariwisata jatuh, bahkan ada biro perjalanan yang memiliki kapitalisasi pasar 10 miliar dolar AS bangkrut, termasuk industri hotel, supermarket, hotel semua sempat berhenti beroperasi.
“Krisis global sudah pasti terjadi, berapa lama akan berakhir tidak ada yang tahu. Krisis tahun 2008 di Amerika Serikat pun baru bisa diredam 6-7 tahun kemudian,” ujarnya.
Mochtar Riyadi menambahkan bahwa dari krisis ini pasti ada sisi positif yang bisa dipetik, yaitu membiasakan diri dalam tatanan ekonomi baru yang memasuki masa industri serba digital yang bisa menghilangkan sistem bisnis konvensional selama ini.
Namun ia menegaskan, bahwa untuk keluar dari krisis besar tersebut sebuah negara atau wilayah harus memenuhi sejumlah syarat, yaitu memiliki wilayah yang luas, sumber daya atau jumlah penduduk yang banyak, pasar dalam negeri besar, teknologi yang terus berkembang, dan pendidikan.
Pada kesempatan itu, Mochtar Riyadi menggarisbawahi pendidikan, karena kalau sistem pendidikan tidak disiapkan dan tidak kuat maka akan sulit masuk dalam kancah dunia yang baru pascaCOVID-19.
Meski ia pun memperkirakan hanya sedikit negara yang memenuhi kriteria keluar dari krisis itu yaitu Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa.
“Indonesia mampu jikalau merangkul negara ASEAN lain dengan total 600 juta penduduk di wilayah itu. Tanpa itu sulit,” ujarnya.
China Vs AS
Host acara ini sekaligus Tri-Founder of Philip Kotler Center for ASEAN Marketing, Hermawan Kartajaya setuju dengan ungkapan Mochtar Riyadi, terutama melihat China yang mulai menyaingi AS dalam berbagai bidang.
"Bahkan setelah COVID-19 mereka akan menyamai AS sebagai kekuatan baru dunia. Dulu kalau di Asia kita mengenal Jepang. Sekarang mereka diganti China yang mengajak AS berperang, tapi perangnya perang digital," sambung pakar marketing dunia tersebut.
Faktor digital ini yang dilihat sebagai faktor positif oleh Mochtar Riyadi. Dengan COVID-19 ini, masyarakat di berbagai belahan dunia dipaksa menggunakan teknologi baru, termasuk soal pertemuan secara digital.
Ia menilai kondisi ini adalah revolusi industri 4.0, di mana jika Indonesia bisa beradaptasi dengan teknologi tersebut seharusnya bisa bertahan dari COVID-19.
Sementara itu, berita positif dari pandemi COVID-19 disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Jerry mengatakan, di awal tahun 2020 neraca perdagangan Indonesia positif sebesar 2,6 miliar dolar AS, dengan total ekspor mencapai 41 miliar dolar AS.
Walau begitu, pemerintah melihat ekonomi sepanjang 2020 tidak akan sebaik tahun 2019.
Ada dua skenario yang dikeluarkan pemerintah. "Pertama skenario buruk di angka pertumbuhan 2,3 persen. Skenario terburuknya di -0,4 persen, lebih rendah dari prediksi IMF sebesar 0,5 persen. Tapi tetap jangan pesimis. Kami pemerintah optimis dapat melewati kondisi ini," kata Jerry.
Baca juga: PBB peringatkan krisis kesehatan mental global karena pandemi COVID-19
Baca juga: ILO: 1,6 miliar pekerjaan informal terancam hilang
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020