"Angka KDRT yang tinggi terjadi di masa pandemi COVID-19 ini memang harus segera kita atasi bersama-bersama dengan pemerintah," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Hal itu dikatakan Rerie dalam diskusi daring yang digelar kelompok diskusi Denpasar 12 bersama DPP NasDem bertema "Kerentanan Kasus KDRT, di Masa Pandemi COVID-19", Kamis (14/5).
Baca juga: Putri Koster ingatkan perlu pendekatan hukum-budaya atasi KDRT
Diskusi yang melibatkan hampir 60 peserta itu menghadirkan narasumber antara lain Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, Iit Rahmatin (LBH APIK), dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Rerie mengatakan dalam diskusi tersebut terungkap di awal pembentukan Satgas Penanganan COVID-19, pemerintah mengakui sempat tidak melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA).
Dalam diskusi tersebut Moeldoko menjelaskan, dalam Keppres pembentukan Satgas Penanggulangan COVID-19 memang awalnya tidak melibatkan KPPA.
"Tetapi setelah upaya penanggulangan berjalan KPPA baru dilibatkan untuk membantu mengatasi sejumlah masalah yang menimpa perempuan dan anak di masa wabah COVID-19," kata Moeldoko.
Baca juga: KPPPA: KDRT masalah serius yang harus ditangani
Untuk mengatasi dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak secara fisik dan psikologis, menurut Moeldoko, pihaknya juga sudah membuat hotline 119 ext 8 layanan SEJIWA.
Namun, menurut Moeldoko, program tersebut masih menghadapi sejumlah kendala antara lain membutuhkan lebih banyak psikolog, masih ada kendala korban untuk keluar rumah karena ada kebijakan "social distancing", dan rumah aman yang jumlahnya masih terbatas.
"Oleh karena itu, saat ini pemerintah membutuhkan kerja sama yang baik dari seluruh masyarakat dalam mengatasi dampak wabah COVID-19, terutama yang menimpa perempuan dan anak," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka menilai bantuan dalam penanganan COVID-19 saat ini terlalu netral gender. Padahal, menurut dia, korban dari COVID-19 terdiri dari berbagai kelompok masyarakat dan menghadapi kendala yang berbeda.
Baca juga: Peradi-Pemkot Yogyakarta lanjutkan kerja sama bantu korban KDRT
"Karena bantuannya bersifat umum, korban perempuan dan anak dalam kasus KDRT di masa wabah COVID-19 ini sering kali tidak terpenuhi kebutuhannya," katanya.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkapkan dalam 12 tahun terakhir terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan yang siginifikan misalnya pada 2019 tercatat 431.471 kasus.
Siti menjelaskan setiap tahun kecenderungan kekerasan terhadap perempuan konsisten mengalami peningkatan, itu menunjukkan tidak adanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan bahkan mungkin saja telah terjadi pembiaran.
Menurut dia, berdasarkan data SIMFONI PPA yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret-25 April 2020, tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang, serta 368 kasus kekerasan yang dialami anak, dengan korban 407 anak.
Baca juga: Kementerian PPPA minta pemda tangani KDRT dengan serius
Menurut Siti Aminah, akar masalah KDRT adalah relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, laki-laki umumnya memiliki kekuatan atau "power" dan kontrol terhadap anggota keluarga.
Hadir sebagai peserta diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat memberi perspektif lain dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
Saur menjelaskan, dalam tatanan masyarakat patriarki perlu juga dilakukan moderasi terhadap sistem sosial patriarki, selain dilakukan pemberdayaan terhadap perempuan.
Dia menilai selama sistem sosial patriarki masih tetap dipegang, potensi terjadi kekerasan terhadap perempuan tetap tinggi.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020