Pemerintah telah menyiapkan dana senilai Rp35 triliun bagi bank bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang akan disalurkan oleh bank jangkar yang akan ditetapkan pemerintah.
"Dengan parameter 15 bank dengan aset terbesar, nanti OJK tinggal menentukan mana bank-bank yang memang bersedia untuk menjadi semacam bank peserta untuk membantu bank yang sedang butuh likuiditas, dimana dana dari pemerintah akan masuk ke bank peserta untuk selanjutnya akan disalurkan atau diteruskan ke bank pelaksana. Jadi mekanismenya sepert itu," kata Kepala Ekonomi BNI Ryan Kiryanto dalam Ramadhan Digital Talkshow yang diselenggarakan secara daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Pasok likuiditas, OJK akan tunjuk bank jangkar
Menurut Ryan, implementasi mekanisme bank jangkar ini memang tidak gampang. Ketika bank pelaksana sudah melakukan restrukturisasi, nanti harus ada aset-aset, baik kredit maupun non kredit, yang harus "digaransikan" kepada bank peserta. Karena bank pesertanya juga punya tanggungjawab untuk mempertanggungjawabkan perannya sebagai bank peserta kepada pemberi dana likuidita yaitu pemerintah c.q Kementerian Keuangan.
"Tentunya harapannya mudah-mudahan sedikit bank yang membutuhkan tambahan likuidtas dan itu memberikan sinyal bahwa kondisi individual bank-bank kita memang bagus," ujar Ryan.
Ryan menuturkan, skema pengucuran dana likuiditas yang ditempuh pemerintah sekarang memang berbeda dengan penanganan yang dilakukan pada masa krisis ekonomi 1998. Likuiditas disalurkan bukan secara langsung oleh Bank Indonesia atau pemerintah, tetapi oleh bank jangkar yang akan ditunjuk.
Penunjukkan bank jangkar atau bank pelaksana penyaluran likuiditas ini akan ditetapkan oleh OJK melalui mekanisme apraisal yang ketat. Setelah dilakukan penilaian oleh OJK kemudian ditentukan bank bank yang layak menjadi bank jangkar atau bank pelaksana.
Baca juga: Bank Dunia setujui pendanaan 700 juta dolar untuk atasi COVID-19 di RI
Ia menyatakan OJK akan menunjuk diantara 15 bank yang memiliki aset terbesar atau bank bank yang masuk dalam BUKU IV. Dari 15 bank ini kemudian diseleksi bank-bank yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan bantuan kepada bank-bank di buku lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka program restrukturisasi kredit debitur.
Ryan menyebutkan bank bank yang akan ditunjuk sebagai bank jangkar atau bank pelaksana ini tentu akan sangat hati-hati dalam mencari pasangannya. Hal ini bisa dipahami, karena dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, praktek bisnis tidak bisa berjalan seperti biasa atau bussiness as usual.
Bank-bank jangkar tentu juga akan meminta jaminan dari bank-bank peserta yang akan menerima bantuan likuiditas dari pemerintah. Menurut Ryan, aturan kepada bank-bank jangkar ini harus jelas dan memiliki kepastian hukum.
"Misalnya OJK harus menetapkan syarat syarat yang jelas untuk menjadi bank jangkar. Disebutkan dalam peraturan bahwa 51 persen pemegang saham bank jangkar adalah Warga Negara Indonesia, bank jangkar ini harus berbadan hukum Indonesia. Lalu bagaimana dengan Bank BUMN yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah. Apakah ini masuk dalam ketentuan tersebut," ujar Ryan.
Ia menyatakan, tantangan yang juga dihadapi adalah bagaimana bank bank jangkar mencari pasangan yang cocok. Jika bank jangkar yang berada di BUKU IV mencari pasangan dengan bank bank peserta yang berada di BUKU III dan BUKU II akan lebih mudah, namun ini tidak mudah jika dilakukan pada bank yang berada pada BUKU I.
Ryan menilai, bank-bank jangkar yang menyalurkan likuiditas kepada bank bank peserta juga akan secermat mungkin dalam menghitung marjin keuntungan dan risiko yang mungkin terjadi.
"Cost and benefit benar-benar akan dihitung secara matang. Dan kebijakan setiap bank tentu akan berbeda. Karena ini menjadi urusan dapur masing-masing bank tersebut," kata Ryan.
Ia menuturkan, bank-bank jangkar bisa mengambil keuntungan atau marjin dari kebijakan relaksasi tersebut. Namun sebaliknya risiko yang dihadapi juga ada yakni kenaikan Non Performing Loan (NPL) jika penyaluran kredit berjalan tidak lancar. Restrukturisasi kredit ini memang memiliki payung hukum yakni POJK 11 yang terbit pada 2020 yang akan berlaku sampai 31 Maret 2021.
OJK selaku pengawas penyaluran dana likuiditas ini juga harus mengawasi secara reguler. Lembaga ini bisa mencari terobosan baru jika antara bank jangkar dan bank peserta tidak terjadi titik temu atau no deal. Dalam situasi seperti ini tanpa campur tangan pemerintah maka bank-bank yang membutuhkan likuiditas akan mengalami kesulitan.
Ryan memperkirakan, secara umum kondisi perbankan masih akan mengalami tekanan pada 2020 karena belum ada kepastian kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir. Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan akan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada 2020 diperkirakan akan tumbuh sekitar 3,5 persen sedangkan pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan sekitar 2-3 persen.
Ryan menambahkan, banyak pihak berharap pada kuartal ketiga dan keempat ini pandemi COVID-19 mulai bisa diatasi sehingga terjadi pemulihan ekonomi global yang lebih cepat.
"Kuncinya jika penyebaran COVID-19 ini adalah kurva berbentuk V maka optimisme akan tinggi diantara para pelaku ekonomi. Kita berharap jangan sampai yang terjadi adalah kurva W atau penyebaran virus Corona gelombang kedua. Ini akan membuat tekanan baru," ujarnya.
Ia mengatakan, krisis ekonomi 2020 ini memang lebih berat dibandingkan krisis keuangan 2008. Karena krisis yang terjadi sekarang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan seluruh masyarakat dunia. Pemulihan ekonomi secara global akibat pandemi COVID-19 juga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan krisis ekonomi 2008 yang dimulai di Amerika Serikat.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020