• Beranda
  • Berita
  • Fitofarmaka, pilihan obat dengan kembali ke alam (1)

Fitofarmaka, pilihan obat dengan kembali ke alam (1)

19 Mei 2020 15:06 WIB
Fitofarmaka, pilihan obat dengan kembali ke alam (1)
Seorang pekerja membersihkan rumputan dari tanaman Jahe merah di perladangan seputaran Pintu Angin, Nagori Parik Sabungan, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun. (FOTO ANTARA/Waristo)

Kesehatan masyarakat jelas berkorelasi erat dengan pertahanan nasional. Terlebih dalam masa pandemi Coronavirus disease 2019 atau COVID-19 yang mewabah dan menjangkiti penduduk dunia sejak Desember 2019.

Nyaris tidak ada negara yang luput dari virus corona tipe baru yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut. Para ahli dan peneliti di negara-negara adidaya berpacu dengan waktu menciptakan antivirus untuk menangkalnya maupun obat terapi untuk menyembuhkan pasien.

Obat menjadi kebutuhan krusial. Para dokter membutuhkan berbagai jenis obat dengan senyawa yang tepat untuk dapat diresepkan dalam terapi penyembuhan pasien yang positif terjangkit severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) penyebab COVID-19 itu.

Saat krisis obat dunia di masa pandemi terjadi, bagaimana nasib negara yang 95 persen bahan baku obatnya impor seperti Indonesia?

Bukan sekedar persoalan APBN yang tercabik-cabik karena harga yang mahal, dengan nilai impor bahan baku obat setiap tahun mencapai 2,5 miliar dolar AS hingga 2,7 miliar dolar AS, tapi masih bisakah bahan baku obat itu diperoleh dengan mudah sementara seluruh negara di dunia juga sangat membutuhkan obat.

Sebenarnya, tekad untuk lepas dari impor bahan baku obat telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada 21 September 2019, di mana Kepala Negara meminta agar skema insentif bagi riset di bidang farmasi bisa diperbesar.

Tidak hanya itu, ia juga meminta agar ada peningkatan insentif untuk riset yang menghasilkan temuan alat kesehatan. Harapannya, mampu menghasilkan produk kesehatan yang kompetitif dengan yang diproduksi di luar negeri.

Presiden juga meminta agar regulasi yang menghambat investasi maupun pengembangan industri farmasi serta alat-alat kesehatan bisa dipangkas. Proses perizinan juga diminta untuk disederhanakan.

Harapannya, industri farmasi di dalam negeri dapat tumbuh dengan baik, dan masyarakat dapat membeli obat dengan harga yang lebih murah.

Baca juga: Kepala LIPI sebut keterlibatan swasta cara cepat hasilkan fitofarmaka

Baca juga: Obat atasi gangguan lambung berbahan kayu manis peroleh Fitofarmaka

 

Kembali ke alam

Untuk periode 2020-2024, Indonesia memang memiliki Prioritas Riset Nasional (PRN) di bidang Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka, obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik.

Sebagai negara pemilik mega biodiversity, peneliti Centre for Drug Discovery and Development (CDDD) di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mega Ferdina Warsito mengatakan Indonesia mempunyai banyak komoditas yang dapat menjadi calon obat tradisional, baik untuk OHT maupun fitofarmaka.

Sekalipun bukan tanaman asli, setidaknya sudah tumbuh dan mudah berkembang di tanah dan iklim Indonesia, ujar Mega.

Sebut saja herbal merah, gabungan jahe merah atau Zingiber officinal var rubrum rhizoma dengan rosela merah atau Hibiscus sabdariffa L yang sedang dikembangkan tim CDDD menjadi obat hipertensi.

Mega mengatakan sebenarnya cukup hanya bermodal studi etnobotani sebagai bukti empiris terhadap penggunaan atau pemanfaatan tanaman tersebut, sudah bisa diusung sebagai calon komoditas obat herbal terstandar.

Selain mengupayakan fitofarmaka untuk hipertensi dari herbal merah, tim CDDD juga sedang mengembangkan adjuvan kanker dari tripang pasir atau secara ilmiah dikenal dengan nama Holothuria scabra.

Peneliti lainnya dari Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Iskandar Azmy Harahap, selaku koordinator pengembangan fitofarmaka tripang, mengatakan tripang pasir merupakan salah satu keanekaragaman hayati perairan yang dimiliki Indonesia.

Tren kesehatan global saat ini memang kembali ke alam, itu pun mulai terjadi di Eropa. Karenanya, memasukkan OHT dan fitofarmaka dalam prioritas riset nasional sangat pas.

“Namanya juga dari alam, biasa kita konsumsi dari dulu sampai sekarang, maka efek tidak baiknya jauh lebih sedikit dari obat konvensional,” kata Peneliti dari Centre for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI lainnya Fauzia Nurul Izzati.

Baca juga: Obat atasi gangguan lambung berbahan kayu manis peroleh Fitofarmaka

Baca juga: Kembangkan produk herbal baru, Phapros siap menjadi pemain utama di Fitofarmaka



Bahan baku

Iskandar mengatakan tripang pasir ada di seluruh perairan Indonesia dan sudah dibudidayakan oleh nelayan seperti di Bali dan Bintan. Iskandar meyakinkan pasokan bahan baku untuk obat tersebut akan dapat berkelanjutan di masa depan.

Khusus fitofarmaka yang menggunakan tripang itu, menurut dia, memang lebih banyak bekerja sama dengan koperasi unit bersama dari nelayan di Bali utara dan Balai Besar Riset Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk ketersediaan bahan bakunya.

Tripang pasir itu, menurut Iskandar, juga banyak ditemui di perairan Bintan, Kepulauan Riau. “Ada dua pulau di sana yang melimpah ruah tripangnya. Kebanyakan justru PMA (penanam modal asing) yang datang membuat tambak sendiri lalu diambil dalam bentuk segar maupun kering. Tidak ada membina nelayan di sana”.

Nelayan maupun pemerintah setempat cukup bingung memanfaatkan tripang pasir yang berlimpah di Bintan. Selain dikonsumsi tidak dalam jumlah yang besar, biota laut tersebut diekspor ke Hong Kong maupun negara di Asia Timur lainnya.

Apa yang dikehendaki oleh 24 peneliti dan dua teknisi yang tergabung dalam CDDD tersebut, pengembangan dua fitofarmaka juga dapat menciptakan peluang ekonomi bagi setiap mereka yang terlibat proses produksinya dari hulu hingga hilir.

“Pemberdayaan nelayan terjadi, kita memberikan added value juga. Jadi semoga bisa menarik perekonomian di daerah. Lagi pula mereka bingung mau diapakan,” kata peneliti dari Center for Drug Discovery and Development Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Siti Irma Rahmawati.

Mereka ingin sebisa mungkin membantu usaha kecil menengah (UKM) untuk memberi nilai tambah. Hal tersebut berlaku juga pada pengembangan jahe merah sebagai salah satu bahan baku untuk fitofarmaka hipertensi.

“Jadi kita coba bantu UKM untuk mendapat nilai tambah. Kemudian produk itu tidak cuma jadi satu, bisa dikembangkan lebih ke pangan fungsional. Ok, misalkan rendeman jahe merah itu sebagai apa, ternyata ‘limbah’ hasil samping yang masih bisa digunakan dan punya nilai,” kata Irma yang menjadi koordinator pengembangan fitofarmaka herbal merah.

Ia menjelaskan varietas asli Afrika tersebut berbeda dengan jahe lainnya karena kandungan shogaolnya lebih banyak.

Meski demikian dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tiga tahun terakhir justru produksi jahe merah menurun. “Ya, mungkin jadi tanda tanya kenapa justru menurun. Meski dengan adanya (pandemi virus) Corona pasti jumlahnya akan naik lagi karena orang membaca pasar,” kata Irma.

Namun, di tengah upaya percepatan pengembangan fitofarmaka di dalam negeri, persoalan bahan baku seperti itu menjadi masalah, karena yang terjadi jahe merah yang produksinya memang sudah menurun ditambah diburu masyarakat untuk pencegahan COVID-19 menjadi semakin sulit diperoleh.

Bagi petani, menurut Irma, sebenarnya secara ekonomi peluang memasok bahan baku fitofarmaka sangat menarik.

Tim CDDD telah bekerja sama dengan Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian yang memiliki bibit unggul jahe merah sekaligus SOP budi dayanya. Belum banyak petani yang paham soal standar bahan baku untuk farmasi, dan itu menjadi persoalan.

“Kenapa farmasi masih impor? Karena standar bahan bakunya itu. Belum banyak yang paham soal standarisasi bahan baku obat, makanya penting kerja sama dengan Kementerian Pertanian juga untuk memastikan standarnya,” ujar dia.

Setelah itu, ia mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memperbanyak karena yang memiliki lahan, sedangkan petaninya dari Kementerian Pertanian.

“Jadi Insyaa Allah akan terstandar lebih baik dari hulu ke hilir,” kata Irma.*

Baca juga: Pemerintah dorong saintifikasi jamu agar penuhi uji klinis

Baca juga: Jalan pembuktian khasiat anti-kanker bajakah masih panjang

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020