Namun krisis ini juga menjatuhkan nilai pemain-pemainnya, termasuk superstar-superstar seperti Neymar, Paul Pogba, dan Kylian Mbappe yang tahun sebelumnya membuat bursa transfer gonjang ganjing.
Kini, menjelang bursa musim panas yang tak jelas kapan mulainya ketika semua liga besar tutup toko, kecuali Bundesliga, harga para superstar tak sementereng dulu.
Lembaga konsultansi terkemuka dunia KPMG bahkan menaksir angka depresiasi harga pemain-pemain sepakbola Eropa itu bisa mencapai 10 miliar euro.
"Jika musim kompetisi domestik dituntaskan 'di balik pintu tertutup' (laga tanpa penonton), maka nilai pemain akan terpangkas 6,6 miliar euro (Rp106,3 triliun)," kata KPMG seperti dikutip laman harian ekonomi terkemuka, Financial Times. Angka itu membengkak menjadi 10 miliar euro (Rp161 triliun) jika kompetisi dihentikan begitu saja.
Oleh karena itu, jangan heran kini tak ada lagi yang jor-joran berbelanja, entah itu Barcelona, Real Madrid, Paris Saint-Germain, duo Manchester, ataupun semua klub berkantong tebal lainnya.
Tak ada lagi kontroversi semacam saga Paul Pogba dan rencana reuni Neymar di Barcelona yang membuat retak ruang ganti pemain Parc de Princes.
Tetapi tak ada yang mau rugi atau setidaknya tak mau terlalu rugi. Mereka tahu pandemi COVID-19 telah menggerus harga, namun karena "the show must go on", maka penyesuaian-penyesuaian haruslah diambil.
Dalam kaitan itu, model bisnis pun berubah, termasuk dalam transfer pemain yang sepertinya bakal dominan mengikuti model transaksi swap ala liga basket profesional Amerika Serikat, NBA.
"Untuk pertama kalinya, kita akan menyaksikan klub-klub besar berusaha berdagang cerdas lewat kesepakatan-kesepakatan tukar tambah yang diperkirakan lebih umum terjadi dibandingkan dengan era sebelum ini," tulis Dean Jones dari Bleacher Report, situs olahraga milik konglomerasi Turner Broadcasting System.
Itu artinya kesepakatan-kesepakatan bertukar klub seperti yang melibatkan Alexis Sanchez dan Henrikh Mkhitaryan pada 2018 atau Andy Carroll dan Fernando Torres pada 2011, menjadi hal lumrah dalam sepakbola profesional Eropa era pandemi.
Ironisnya, pandemi yang memicu terpangkasnya inflasi harga pemain yang memaksa klub-klub menjual asset-asetnya pada harga diskon demi menyeimbangkan neraca keuangan ini juga bisa mengakhiri tren harga gila-gilaan pemain sepakbola yang sering dianggap tidak masuk akal.
Insentif lain dari mekanisme swap atau tukar menukar pemain ini adalah pola rekrutmen sehat dan membuat sepak bola lebih menarik karena klub benar-benar belanja untuk mendapatkan pemain bagus, bukan dicitrakan bagus atau karena daya jual pemain di luar lapangan.
Jadi, ada sisi baiknya ternyata. Nilai riil pemain yang dulu dianggap berlebihan kini mungkin sudah tak seperti itu lagi. Pogba, Ousmane Dembele, Philippe Coutinho dan Antoine Griezmann adalah contohnya.
Mereka adalah empat dari tujuh pemain paling mahal dalam tiga tahun terakhir ini. Tapi kontribusi mereka kepada timnya datar-datar saja dan tidak sekonsisten Cristiano Ronaldo, Lionel Messi atau Neymar.
Adopsi swap
Kini klub-klub besar yang sebelum terkenal royal berbelanja seperti Barcelona, Juventus, Chelsea, Bayern, Paris Saint Germain, Manchester City, Liverpool, Inter Milan, Real Madrid, dan banyak lagi, serentak mengadopsi strategi swap.
Yang juga mendorong pola ini diadopsi adalah fakta banyaknya pemain-pemain habis kontrak yang membuat klub-klub tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa dari pemain yang bebas kontrak.
Sebaliknya, mereka juga tak bisa menjual pemain-pemain itu pada harga ideal. Oleh karena itu dalam beberapa hal, format swap menjadi solusi yang selain menyembunyikan deflasi harga pemain, juga bisa menyelamatkan kredibilitas klub dan pemain.
Poinnya, swap bakal menjadi himne besar bursa transfer nanti seperti diramalkan Presiden Barcelona Josep Maria Bartomeu.
Dan di antara swap yang bisa dibilang bakal menjadi transaksi panas adalah tukar tambah Paul Pogba dengan Miralem Pjanic dan Douglas Costa.
Setelah Madrid mengisyaratkan tak lagi memburu Pogba yang harganya menjadi terlihat jauh lebih mahal pada era pandemi dan di satu sisi enggan melego asset-asset besarnya, Juventus datang menyelinap dengan proposal menukarkan Pjanic dan Costa dengan Pogba.
Manchester United menggenggam oke-oke saja opsi itu, terutama seandainya proyek mendapatkan Jadon Sancho dari Borussia Dortmund buyar di tengah jalan.
Barcelona juga ingin berbelanja tapi kantong tidak setebal dulu. Untuk itu klub ini juga menggunakan pola swap. Salah satu yang diincar Blaugrana adalah gelandang Tottenham Tanguy Ndombele. Barca lalu menawarkan paket Samuel Umtiti dan Nelson Semedo untuk ditukar dengan Ndombele.
Arsenal dan Real Madrid juga tengah menjajaki barter Pierre-Emerick Aubameyang yang segera habis kontrak, dengan Luka Jovic yang gagal bersinar di Estadio Bernabeu.
Aubameyang juga ditawarkan kepada Barcelona yang sudah mencari calon pengganti Luis Suarez yang pernah gagal direkrut The Gunners pada 2013. Swap Suarez dengan Aubameyang bisa menjadi salah satu pertukaran hot.
Tukar menukar pemain lainnya yang paling gres adalah antara Real Madrid dengan Liverpool untuk mempertukarkan Raphael Varane dengan Sadio Mane.
Berikutnya adalah tukar klub antara Philippe Coutinho dari Barcelona dengan N’Golo Kante dari Chelsea. Atau Jadon Sancho dari Dortmund dengan Mason Greenwood dari Manchester United.
Victor Moses dan Olivier Giroud juga menjadi tawaran Chelsea untuk mendapatkan Lautaro Martinez dari Inter Milan. Martinez yang dipromosikan Messi juga menjadi item swap Barcelona dan Inter.
Yang juga disebut-sebut adalah Jorginho di Chelsea dengan Aaron Ramsey dari Juventus, kemudian Ousmane Dembele dari Barcelona untuk Alexandre Lacazette dari Arsenal, dan banyak lagi.
Dengan cara swap seperti ini, klub-klub menjaga harga pemain tidak terlalu jatuh dan saat bersamaan mendapatkan suntikan pemain baru guna menghidupkan persaingan serta menajamkan skuat atau paling tidak memperbanyak opsi, selain menjaga keuangan klub terlihat sehat.
Picu inovasi
Namun bagi klub-klub yang nyaris bangkrut, mereka terpaksa harus melego pemain-pemain terbaiknya pada harga di bawah yang seharusnya.
Mereka inilah yang menjadi incaran klub-klub dengan arus tunai lebih kuat karena di masa krisis seperti ini siapa yang memiliki cadangan tunai kuat itulah yang memenangkan pasar.
Sedangkan untuk klub-klub yang sepertinya akan selamat dari krisis ini, pandemi membuat mereka menahan diri untuk melepas pemain.
Contohnya Barcelona yang ingin menjual salah satu properti mahalnya Ousmane Dembele yang dibeli dalam harga 105 juta euro (Rp1,69 triliun) pada 2017.
Kini Barca disebut-sebut menahan pemain ini karena selain sulit mendapatkan pembeli, Barca tak mau obral.
Sebaliknya klub besar yang bernafsu mengincar pemain bintang seperti Real Madrid yang memburu Kylian Mbappe yang seharusnya tahun ini masuk kandidat pemain paling mahal tahun ini, harus menunda keinginannya terwujud setelah krisis virus berakhir.
Tapi beberapa klub seperti Dortmund mungkin tergoda melepaskan asset paling berharganya seperti Erling Braut Halaand untuk mengurangi tekanan dampak krisis virus terhadap keuangan klub.
Selain dari itu, kesepakatan pinjam pemain pun menjadi pilihan realistis pada era pandemi.
Terutama untuk klub-klub yang keuangannya sehat, opsi pinjam adalah paling realistis, sambil menantikan situasi normal lagi sehingga memiliki kesempatan mempermanenkan pemain yang dipinjamnya.
Pertanyaannya, apakah pergeseran yang mungkin terjadi ini menunjukkan sepakbola profesional ambruk?
Ulasan ESPN ini bisa menjadi jawaban untuk itu; "Pulih total mungkin perlu waktu sedikit lama, tetapi semua klub kemungkinan tetap bertahan sampai tiga tahun ke depan."
Logikanya begini. Mengutip perhitungan Deloitte, pada musim 2017-2018, total pendapatan yang direngkuh sepakbola Eropa mencapai 28,4 miliar euro (Rp457 triliun). Musim lalu diperkirakan jauh lebih tinggi lagi.
Oke, taruhlah pandemi berdampak jangka panjang kepada industri sepakbola. Sebut saja memangkas separuh angka 2017-2018 itu. Bahkan separuh dari nilai musim itu hampir sama dengan nilai yang didapat pada musim 2008-2009 ketika revenue mencapai 15,7 miliar euro (Rp253 triliun).
Dengan nilai sebesar itu pun klub-klub bisa bertahan hidup bahkan jauh sebelum pendapatan dari hak siar televisi mengerek pendapatan mereka secara gila-gilaan.
Jadi, pandemi bagi industri sekreatif sepakbola, tidak cuma menciptakan tsunami finansial, namun juga menstimulasi inovasi dan pemikiran alternatif. Dan swap adalah salah satunya.
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2020