Sejauh ini, riset mengenai manfaat sawit terhadap kebutuhan nutrisi dan kesehatan masih cukup terbatas, karena sebagian besar penelitian diarahkan pada sektor hilir, yaitu yang menghasilkan luaran berupa produk atau hasil olahan, kata Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Tech Center (SEAFAST), Prof Nuri Andarwulan.
"Penelitian mengenai kelapa sawit didominasi pada hilirisasi, artinya fokus pada pengembangan produk yang akan dijual, padahal industri punya unit riset dan pengembangannya sendiri dan teknologinya mungkin lebih canggih. Logical framework-nya (kerangka berpikirnya, red) harus diubah, bagaimana produk sawit di Indonesia dapat diterima di luar dengan dukungan publikasi (riset) yang luar biasa," terang Nuri saat sesi seminar.
Dalam paparannya, Nuri menjelaskan tema riset kelapa sawit yang belum banyak diteliti, di antaranya terkait aspek asupan zat gizi dan non-gizi untuk menjaga kesehatan; pengaruh kelapa sawit terhadap kesehatan, khususnya dampaknya terhadap penyakit menular dan peyakit tidak menular; aspek keamanan pangan.
Ia turut menjelaskan penelitian mengenai minyak kelapa sawit bekas atau minyak jelantah juga belum banyak dibahas, khususnya terkait aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan.
Sejalan dengan pendapat Nuri, Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Hari Prabowo, menyampaikan para peneliti perlu meningkatkan publikasi ilmiah yang diterbitkan jurnal internasional.
"Penelitian yang memperoleh rekognisi (pengakuan, red) internasional sangat penting. Ini sebagai our best interest (kepentingan kami, red) mendukung lebih banyak lagi penelitian yang diakui internasional mengenai manfaat kelapa sawit," terang Hari.
Banyaknya penelitian ilmiah mengenai kelapa sawit, menurut Hari, dapat menjadi amunisi bagi Pemerintah Indonesia melawan kampanye anti-sawit yang saat ini gencar dilakukan sejumlah organisasi dunia, pesaing atau kompetitor, dan lembaga non-pemerintah lainnya.
Hari menjelaskan dua kantor regional Organisasi Kesehatan Dunia pada 25 April 2020 sempat menyiarkan panduan yang meminta masyarakat mengurangi minyak kelapa sawit dan minyak kelapa selama pandemi karena alasan kesehatan. Terkait itu, Pemerintah Indonesia pada 27 April langsung melayangkan nota keberatan yang didukung oleh temuan serta bukti ilmiah kepada kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss.
"Pengalaman kita merespon (publikasi WHO, red) kemarin, semua didasari dengan data, sampai ada footnote-nya (catatan kaki, red) yang merujuk pada bukti saintifik," ujar Hari.
Menurut Nuri, panduan yang disampaikan WHO itu memang mengutip beberapa sumber ilmiah, tetapi juga mengabaikan hasil penelitian yang menunjukkan kelapa sawit bermanfaat bagi kesehatan, khususnya untuk daya tahan tubuh.
"Ini rancu dan menyesatkan untuk masyarakat karena seakan-akan (kelapa sawit, red) ini dilarang dan dianjurkan (tidak dikonsumsi, red), padahal data valid (yang final, red) belum diperoleh," terang Nuri yang juga mengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Baca juga: Dubes: Indonesia perlu kampanye terstruktur perangi diskriminasi sawit
Baca juga: Indonesia perlu beri informasi berimbang tentang sawit di forum dunia
Baca juga: Belanda dukung Indonesia produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020