Ahli Virologi Universitas Udayana Prof G N Mahardika mengatakan lonjakan kasus COVID-19 harian yang mendekati angka 1.000 orang secara virologi belum mengkhawatirkan.
“Mestinya tidak membuat kita cemas berlebihan. Secara virologi bukan masalah besar. Kecenderungan kasus fatal yang meningkat yang mesti segera diintervensi,” kata Mahardika dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Dalam kondisi saat ini, menurut dia, Indonesia bahkan mungkin bisa mengklaim keberhasilan pembatasan sosial. Jika dibiarkan alami, per 20 Mei jumlah positif COVID-19 minimum 1,7 juta orang, itu jika dihitung dari 1 April saat terkonfirmasi 1.677 kasus.
Rentang waktu sejak saat itu sampai 20 Mei adalah 50 hari. Dengan masa inkubasi dianggap rata-rata 5 hari, maka dalam rentang waktu itu sudah terjadi 10 kali penularan baru.
Basic reproduction number, yaitu kemampuan satu pasien menginfeksi sejumlah pasien baru, istilahnya R0, dianggap satu (1). Tanpa intervensi, per 20 Mei harusnya berjumlah 1.717.248 orang, sementara data resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 hingga Kamis (21/5), pukul 12.00 WIB jumlah total positif COVID-19 di Indonesia mencapai 20.162 kasus.
Angka R0 kasus di luar negeri bahkan, menurut dia, dianggap lebih besar dari tiga.
Baca juga: Pakar: Mutasi COVID-19 yang sangat cepat sulitkan pembuatan vaksin
Tingkat deteksi rendah
Hanya saja, menurut Mahardika, secara epidemiologi Indonesia masih berstatus under-detected. Kemampuan negara dalam pengujian COVID-19 memang harus dibenahi segera.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, jumlah pengujian di Indonesia hanya 65 orang per satu juta penduduk. “Kita bandingkan dengan Jepang misalnya, yang mempunyai rasio 509 per juta penduduk. Rasio Indonesia hanya 10 persen dari Jepang”.
Jika angka ini dijadikan patokan, bahwa Indonesia baru mendeteksi 10 persen dari kasus yang sebenarnya, menurut dia, jumlah kasus terkonfirmasi saat ini mestinya minimum 200.000.
Selain itu ia mengatakan angka kasus terkonfirmasi mestinya tidak membuat masyarakat begitu cemas. Secara alami, virus COVID-19 diketahui tidak selalu menyebabkan kasus berat, apalagi sampai meninggal.
Sebagian besar orang yang terpapar, menurut dia, tidak menjadi sakit. Yang mengembangkan gejala klinis pun lebih banyak klinis ringan.
Informasi dari WHO, 80 persen pasien yang sakit dapat sembuh tanpa pengobatan khusus. Data dari karantina kapal pesiar Diamond Princess di Jepang yang dimuat pada Journal Eurosurveillance bisa dijadikan patokan.
Persentase orang terpapar tapi tak terinfeksi sekitar 75 persen. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8 persen, dan yang simptomatik adalah 17 persen.
Data dari Wuhan, China, yang dipublikasi di JAMA menyebutkan pasien yang kritis hanya 5 persen dari yang mengeluh ringan sampai berat. Itu berarti 5 persen dari 17 persen, artinya hanya 0.85 persen.
Menurut Mahardika, di alam yang sebenarnya, bukan kapal pesiar, angkanya dapat jauh lebih kecil.
Data kasus COVID-19 harian yang fatal yang mestinya membuat khawatir. Akar masalahnya harus segera diinvestigasi dan intervensi terbaik harus segera dilakukan, kata dia.
Jumlah rata-rata setiap 10 hari (moving average 10/MA10) kasus dan fatalitas baru dapat kita lihat pada ilustrasi di bawah. MA10 ditampilkan untuk mengurangi “kebisingan” data.
Tren angka kasus harian memang meningkat. Ini sejalan dengan peningkatan kapasitas lab, yang kini mencapai 30 laboratorium di mana beberapa fasilitas tersebut sedang berusaha menggenjot kapasitasnya.
Baca juga: Di Kabupaten Bogor dua hari nihil kasus COVID-19
Tantangan utama
Yang mengkhawatirkan, menurut Mahardika, justru tren angka kasus fatal yang kembali mendekati puncak sekitar hari ke-50 sejak konfirmasi COVID-19 di Indonesia yang pertama.
Ia mengaku sulit mengidentifikasi berbagai faktor yang berkontribusi pada statistik itu. Penyebabnya bisa saja keterlambatan pelaporan atau letupan kasus satu bulan yang lalu, sementara data umur pasien yang sedang dalam perawatan intensif juga sulit diakses.
“Itu tantangan utama Indonesia saat ini. Pemerintah mesti segera menyediakan kamar perawatan rumah sakit untuk kasus berat yang memadai,” katanya.
Mahardika mengatakan pernah hitung untuk Indonesia dengan 280 juta penduduk, jumlah kamar rumah sakit dengan ventilator minimum 11.200 unit. Untuk diketahui, Jerman konon punya 36.000 kamar seperti itu, bahkan pasien berat dari negara lain sampai diterbangkan ke sana.
Setelah rumah sakit tersedia, menurut dia, pembatasan sosial dapat dilonggarkan dengan syarat warga bertingkah laku aman COVID-19, dengan memakai masker, membiasakan cuci tangan, menjaga jarak jika harus ke luar rumah.
Baca juga: Sepuluh pasien sembuh COVID-19 di RS PHC Surabaya disambut suka cita
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020